Banyak kerusakan terjadi di bumi ini diakibatkan oleh manusia modern. Manusia modern dengan egosentrismenya, menganggap jika alam hanyalah instrumen belaka. Kehadiran alam dilihat sebatas sumber kebutuhan dan oleh karenanya bebas dieksploitasi. Eksploitasi habis-habisan yang dilakukan oleh manusia modern menghadirkan ketidakseimbangan di bumi dan menyebabkan krisis ekologis yang makin hari makin dalam.
Eksploitasi sumber daya alam akan jadi ancaman keamanan hidup manusia yang bisa lebih cepat daripada restorasi terhadap alam itu sendiri. Untuk mencegah hal tersebut, butuh kesadaran tentang betapa pentingnya menjaga alam hidup manusia. Lewat film dokumenter Semesta (2020), Chairun Nissa mengajak kita melihat bagaimana perjuangan untuk perubahan dan dunia yang lebih baik lewat kacamata agama dan kepercayaan. Nissa akan mengajak kita memasuki kisah dari tokoh-tokoh yang berasal dari Bali, Kalimantan, Flores, Papua, Aceh, Yogyakarta, dan Jakarta.
Kisah pertama dari Tjokorda Raka Kerthysa, seorang tokoh budaya di Ubud Bali, tentang momentum Hari Raya Nyepi menjadi pembuka untuk film ini. Membuka rangkaian kisah dengan Nyepi menjadi semacam landasan untuk memahami lebih jauh tentang relasi manusia dan alam. Kerthysa menjelaskan dalam film ini jika, tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, untuk menyucikan Bhuana Alit (alam manusia/microcosmos) dan Bhuana Agung/macrocosmos (alam semesta). Nyepi dapat dipahami sebagai momentum untuk mawas diri; menyadari kembali hakikatnya sebagai mikrokosmos; Keberlangsungan eksistensi mikrokosmos itu sangat tergantung pada hubungan harmonis dengan makrokosmos dan dengan mikrokosmos yang lain (sesama). Kisah tentang ajakan untuk mawas diri ini menjadi pembuka yang kuat dari film yang menampilkan tujuh kisah dari berbagai wilayah di Indonesia.
Saras Dewi dalam bukunya Ekofenomenologi: Mengurai Disekuilibrium Relasi Manusia dengan Alam (2018) mengatakan jika disekuilibrium (ketidakseimbangan) terjadi karena adanya ketimpangan relasi antara manusia dan alam. Alam dianggap sebagai objek dan manusia ada diatasnya. Menurut Saras, disekuilibrium ini dapat dipulihkan apabila terdapat kesadaran yang mendasar dan hakiki (ontologis) tentang relasi manusia dengan alam yang lebih adil.
Keadilan terhadap alam harus ada sejak dalam pikiran manusia. Dalam film dokumenter semesta, kita melihat bagaimana keadilan adalah sesuatu yang menjadi sebuah prinsip. Sejak film ini dibuka keadilan menjadi nafas dari yang melandasi hubungan antara tokoh-tokoh dalam film ini. Setelah Kisah Nyepi kita memasuki kehidupan dari Agustinus Pius Inam, Kepala Dusun Sungai Utik, Kalimantan Barat, yang memastikan pentingnya penduduk desa memahami dan mengikuti langkah tata cara adat dalam melindungi dan melestarikan hutan.
Selanjutnya menemui Romo Marselus Hasan, Pemimpin Agama Katolik di Bea Muring, Nusa Tenggara Timur. Hasan mengajak para jemaatnya untuk berdamai dan menjaga pelestarian alam, terutama sumber mata air. Lalu bergeser ke Papua Barat ada Almina Kacili, seorang perempuan yang membantu menyeimbangkan alam melalui “Sasi”, sebuah tradisi kearifan lokal yang menjaga keberlangsungan sumber daya alam dengan melindungi wilayahnya dari eksploitasi. Juga ada kisah dari Muhammad Yusuf yang sehari-hari menjadi imam di Desa Pameu, Aceh. Upayanya untuk mendamaikan manusia dengan gajah liar karena berdampak pula pada rusaknya habitat alami gajah liar menjadi bukti jika keadilan harus selalu ditegakan.
Kemudian ada kisah dari Iskandar Waworuntu yang menghayati konsep halal (sesuatu yang boleh) dan thoyyib (sesuatu yang baik), dua konsep yang sebetulnya sangat erat tapi sering terpisahkan. Sebagai contoh, junk food yang memenuhi persyaratan sertifikasi halal dapat disertifikasi halal oleh pemerintah. Sertifikasi tersebut memberitahu kita bahwa produk-produk ini tidak mengandung barang-barang yang dilarang oleh Syariah sekaligus mematuhi ketentuan hukum yang ditentukan oleh hukum negara. Namun, meskipun, mereka bersertifikat seperti itu, makan junk food tidak sehat dan dapat menyebabkan banyak masalah kesehatan. Jadi, junk food bersertifikat halal itu halal, tapi tidak thoyyib.
Mengkonsumsi sesuatu yang baik adalah upaya untuk menjadi adil terhadap tubuh kita sendiri. Waworuntu mengatakan “bagaimana kita bisa adil ke alam jika kita tidak bisa adil terhadap diri kita sendiri. Oleh karenanya ia bersama keluarga berinisiatif secara kolektif membangun Bumi Langit sebagai ruang yang ekosistemnya terorganisir dengan prinsip keadilan. Tidak ada yang sia-sia di Bumi Langit, sampah makanan jadi pupuk dan setiap energi kembali menjadi energi yang lain.
Semangat menjaga yang baik dan menegakkan keadilan mengantarkan kita pada Soraya Cassandra, petani kota pendiri Kebun Kumara, Jakarta. “Kota adalah sumber masalah (alam), dan solusinya harus juga ada di kota,” menjadi pernyataan sikap bagi Cassandra dan Kebun Kumaranya. Cassandra melakukan kampanye prinsip-prinsip belajar dari alam yang secara kreatif mengubah tanah di kota menjadi hijau kembali.Film Semesta dengan segala kisah tentang keadilan dan semangat untuk menghadirkan bumi yang lebih segar terasa seperti angin segar. Berita mengenai bencana di media, terus mengalir begitu derasnya, Tapi tujuh tokoh kita tidak kenal putus asa.