Kekerasan seksual banyak terjadi. Makin tersebarnya pengguna sosial media membuat kita makin terpapar dengan cerita-cerita ‘horror’ yang menjadi viral, yang tidak jarang kental dengan isu kekerasan seksual. Pembahasannya pun tidak pernah mudah, bagi mereka yang awam terhadap fenomena dan ingin mendengarkan, bagi mereka yang mengusahakan agar kekerasan seksual dapat ditumpas, apalagi bagi mereka yang mengalami dan butuh bercerita untuk melewati trauma, mencari keadilan, atau menyebarkan peringatan agar tidak muncul korban-korban lain. Sering, kita disodori statistik korban dari tahun-tahun yang berbeda, dari berbagai tempat, dari ragam lini. Pertanyaannya, apa yang sudah dilakukan untuk mengatasinya? Apa yang harus dilakukan?
Dalam Angka Jadi Suara (2017) karya Dian Septi Trisnanti, pembahasan kekerasan seksual memiliki kompleksitas tambahan karena terjadi di lingkungan kerja. Bagi banyak orang, kerja adalah suatu kebutuhan yang mendekati keharusan. Lewat kerja, orang mendapat uang, dan dengan uang, kesempatan bertahan hidup makin besar. KBN sebagai tempat yang memunculkan statistik tinggi untuk kekerasan seksual adalah kawasan industri yang sangat strategis di Jakarta. Sebagian besar karyawannya adalah perempuan, tetapi angka mayoritas seolah tidak menawarkan apa pun dari segi keamanan untuk terbebas dari kekerasan seksual.
Di KBN, banyaknya perempuan justru mewakili banyaknya korban. Dari film kita melihat kekerasan seksual yang melekat ke sistem. Pengakuan banyak korban memunculkan pelaku kekerasan seksual mulai dari personalia perusahaan, mekanik (hampir semuanya laki-laki) yang sangat penting bagi karyawan pabrik untuk memenuhi target kerja harian, hingga bos pabrik. Karyawan perempuan tidak hanya lelah bekerja, tetapi juga dihantui momok pelaku yang punya kuasa lebih, yang mungkin bisa memutus mereka dari sumber mata pencaharian.
Angka Jadi Suara bekerja baik dalam mengungkap ketidaktahuan, bahkan sikap abai, berbagai elemen kuasa di KBN atau lembaga-lembaga di luar yang berkepentingan dalam isu kekerasan seksual. Dalam audiensi dengan manajer umum KBN, kita mendengar pengakuan bahwa mereka, manajer dan lapisannya yang setara, tidak tahu apa-apa soal kekerasan seksual karena tidak dapat informasi. Berbicara dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KP3A), muncul jawaban yang seolah mengelak, sebelum lagi-lagi belok ke perkara survei dan angka, yang katanya untuk bahan belajar agar menghasilkan solusi. Diskusi dengan sekretaris perusahaan bahkan lebih membuat geram, rentetan miskonsepsi muncul satu per satu: “Bisa sampai hamil? Berarti kan berkali-kali, kok diam aja gak melakukan upaya?”; “Itu juga kadang-kadang, ceweknya pakaiannya… Kita (laki-laki) kan uncontrollable.”
Pemahaman yang tidak tepat, yang berpotensi melanggengkan budaya-budaya toksik di lingkungan kerja, juga masih muncul di pihak korban. Argumen-argumen seperti, ‘kita ingin dihormati, tapi tidak bisa menghormati diri sendiri’, mau tidak mau menempatkan korban sebagai pihak yang salah. Mereka yang memunculkan argumen seperti ini tidak tahu, dan mereka yang melakukan tindakan-tindakan yang dicap sebagai ‘tidak menghormati diri sendiri’ pun mungkin tidak tahu. Hal ini membuat solusi ketiga yang ditawarkan komite buruh, yaitu sosialisasi tentang penghapusan kekerasan seksual, menjadi penting. Kita bisa berharap, sosialisasi ini tidak sekadar berisi ajakan-ajakan, tetapi juga bahasan-bahasan yang meluruskan ketidaktahuan dan kesalahpahaman yang ada.
Dua solusi lain yang dibawa oleh komite buruh adalah pemasangan plang dan pendirian pos pengaduan/pembelaan perempuan yang difasilitasi oleh KBN bekerja sama dengan kepolisian serta serikat-serikat bersama komite. Pemasangan plang mungkin adalah solusi yang terkesan standar, tetapi tetap perlu dilakukan, karena bisa menjadi efektif jika pilihan kontennya tepat. Pos pengaduan/pembelaan, sementara itu, sangat bergantung pada keberhasilan sosialisasi, agar para staf yang bertugas terhindar dari perilaku-perilaku tidak berpihak terhadap korban, dan korban pun merasa nyaman untuk melakukan pengaduan.
Dalam Angka Jadi Suara, kekerasan seksual tetap jadi bahasan yang sulit, tetapi ada simpati dan empati yang coba dibangun, salah satunya lewat seorang korban yang bercerita utuh soal pengalamannya, perasaannya, kesulitan-kesulitannya saat dan pasca kejadian, serta trauma-traumanya. Di sini, korban berbicara langsung kepada penonton. Ada harapan bahwa penonton, setidaknya, terbawa untuk menempatkan diri di posisi korban, dan dengan demikian lebih berhati-hati dalam usahanya memahami peristiwa. Lewat elemen ini, film juga seperti ingin membahas perkara angka-angka hasil survei yang sering dicukupkan sebagai aksi penanganan, aspek yang juga ditekankan dalam puisi yang dibacakan komite buruh. Ada suara di balik angka-angka. Ada individu—seperti korban yang bercerita dalam film—dengan luka-lukanya yang membekas. Suara-suara inilah yang harus, perlu, untuk didengar.
Film ditutup dengan upacara ditetapkannya Kawasan PT KBN sebagai zona bebas kekerasan seksual. Komite Buruh melakukan penyuluhan di halaman-halaman, mengajak para pekerja perempuan untuk berani menghentikan kekerasan seksual. “Tubuh kita adalah milik kita,” mereka berteriak, “jangan kau sentuh karena ini tubuh saya!”. Penonton bisa mendengar sebuah himne yang dinyanyikan sebagai bagian dari aksi menolak kekerasan seksual. Dua larik himne, yang mungkin bisa kita jadikan refleksi terhadap upaya penghapusan kekerasan seksual saat ini di banyak tempat lain, terutama terus terngiang.
Dari titik api matahari pagi
Kan kutangkap semangat menyala-nyala