Menurut hasil studi Yayasan Auriga Nusantara—sebuah NGO (non-governmental organization) yang bergerak mengupayakan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan—dari 33,85 juta hektar hutan Papua, deforestasi yang terjadi dari 2001-2010 mencapai 29% dari total luas penyusutan hutan Papua (663.443 hektar), sementara 71% nya terjadi di rentang 2011-2019.
Bagi para mama, hutan tidak bisa dipisahkan dari hidup. Perempuan dan kehamilan adalah dua hal yang hampir selalu diidentikkan satu sama lain. Bagi perempuan Papua, terutama mama-mama yang menjadi subjek cerita, hutan adalah ruang aman, tempat mereka mencari naungan saat mengalami salah satu momen paling berbahaya dalam kehidupan mereka. Mama-mama Papua pergi ke hutan untuk melahirkan. Mereka mencari pohon besar dan melahirkan di bawah lindungannya, atau seperti kata Mama Elisabet Ndiwaen (yang juga adalah subjek utama dalam film), “di atas rumput, di atas daun-daun”.
Koneksi yang intim antara hutan dan para mama tidak berhenti di situ. Dalam membesarkan anak-anaknya, para mama menggendong mereka dengan noken, keluar masuk hutan mencari bahan-bahan pemenuh kebutuhan sehari-hari dan terkadang menitipkan noken berisi bayi-bayi ke dahan-dahan pohon sementara mereka bekerja di dekatnya. Segala macam hal bisa para mama dapatkan dari hutan. Mulai dari kebutuhan paling dasar—makanan—yaitu sagu; tempat tinggal, di area-area yang berada dalam lindungan hutan; hingga pernak-pernik yang memudahkan kehidupan sehari-hari, seperti segala anyaman dari rotan, dan berbagai kerajinan dari beragam jenis pepohonan.
Mama Elisabet, dan mama-mama lainnya, bernostalgia. Anak-anak mereka, laki-laki dan perempuan, semua lahir di hutan. Banyak dari mereka tumbuh besar menjadi pejabat. Banyak dari mereka tumbuh tanpa pernah kembali ke hutan, atau mengerti betapa kayanya hutan. Mama Elisabet menyebut mereka sebagai anak-anak hutan. Suatu frasa penuh memori yang juga penanda atas simbiosis tak terbantahkan antara para mama dan hutan.
Kesederhanaan film ini tidak menghalangi penonton untuk merasakan kesakralan relasi para mama dengan hutan. Turun temurun dari nenek moyang, mereka meneruskan tradisi kehidupan yang bertumpu pada hutan: mendirikan tempat tinggal, bekerja mencari makan, dan berketurunan. Aspek relijius mereka pun erat dengan hutan, dengan lokasi keramat yang berada di tengah-tengahnya dan entitas-entitas pelindung yang tinggal di antara pepohonan.
Kebun sawit yang menggantikan hutan berdampak pada berbagai aspek hidup mereka. Kita bisa bertanya, berapa banyak hak yang terenggut dengan hilangnya hutan?
Mama Elisabet juga bercerita, kerusakan hutan mencerai berai kerabat dan tetangga. Mereka penuh rasa tidak percaya. Saling curiga siapa penyebab bencana hidup mereka, sebab seseorang jelas berada di balik hilangnya hutan dan munculnya sawit.
Film ini adalah teriakan minta tolong. Mama-mama Papua ingin melawan perusahaan sawit untuk mempertahankan hutan dan tradisi hidup mereka yang kaya dan tanpa kekurangan. Representasi perusahaan sawit hadir lewat bentangan pohon-pohon sawit dan teks pengiring: ‘Kebun Sawit PT. Dongen Prabawa Mam, Merauke, Papua’. Mungkin ini ilustrasi betapa para mama tidak bisa menjangkau raksasa-raksasa yang mencabuti pepohonan mereka dan menggantinya dengan sawit. Para mama bersentuhan hanya dengan dampak yang memberatkan kehidupan mereka, atau pemandangan tanah gundul yang menunggu ditanami vegetasi asing, yang satu-satunya fungsinya adalah mengingatkan para mama atas ruang aman mereka yang hilang.
Pada akhirnya, penonton juga tidak tahu apakah panggilan mama-mama Papua mendapat jawaban. Tidak sulit dibayangkan, jika saat ini mama-mama Papua menjadi orang-orang yang terdampak. Di kemudian hari, ketika hektar-hektar hutan terus berganti menjadi sawit dan tidak hanya di Papua, akan ada masa di mana kita akhirnya paham kenapa hilangnya hutan bukanlah sesuatu yang bisa ditonton sambil lalu.