Perbedaan—entah itu etnik, kepercayaan, bahasa, atau bahkan pendapat—adalah salah satu alasan di balik banyak konflik besar di dunia. Pada krisis Rohingya tahun 2017, penduduk minoritas Muslim Rohingya yang mengalami persekusi di Myanmar, terutama negara bagian Rakhine, berbeda secara etnis, kepercayaan, dan bahasa dengan penduduk mayoritas. Kebijakan yang bersifat diskriminatif terhadap minoritas Rohingya sudah ada di Myanmar sejak 1970. Pemerintah Myanmar menolak mengakui Rohingya sebagai salah satu dari 135 kelompok etnis di Myanmar dan menganggap mereka imigran ilegal dari Bangladesh, terlepas dari sejarah panjang Rohingya di Myanmar. Mayoritas etnis ini tinggal di Myanmar tanpa dokumen dokumen, karena pemerintah Myanmar menolak memberi mereka status kewarganegaraan.
Diskriminasi-diskriminasi lain yang dialami kelompok Rohingya ramai dibicarakan di kanal-kanal berita, dan di tahun 2017, konflik memuncak Ketika grup militan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) mengaku bertanggung jawab atas beberapa serangan terhadap kepolisian dan pos-pos tentara Myanmar. Militer Myanmar kemudian beraksi dengan membunuh ribuan etnis Rohingya dan memaksa ratusan ribu lainnya untuk melarikan diri dari Myanmar.
Worlds Apart (2020) membuka kisahnya lewat nostalgia narator/filmmaker. Konon, ada masa ketika berbagai kelompok etnis hidup bersama dengan relatif damai di Sittwe. Konon, berbagai kelompok etnis ini bertetangga, anak-anak kecil berteman tanpa prasangka, dan sang filmmaker bertanya-tanya, di mana mereka?
Film ini dibangun dalam kondisi absen, atau nyaris absen. Alih-alih langsung menyorot orang-orang dari etnis Rohingya, keluarga dari etnis Hindu menjadi pintu masuk untuk menuturkan isu. Lewat cuplikan keseharian ketiga subjek, ada aspek-aspek yang lalu bisa ditarik ke bahasan besar. Misalnya, seorang perempuan (nama subjek tidak disebutkan hingga akhir) yang sedang membersihkan ruang ibadah. Kepercayaan adalah salah satu tema dalam konflik Rohingya, kepercayaan jugalah yang menentukan pengelompokan tempat tinggal di Sittwe: Hindu tinggal dengan Hindu, Buddha dengan Buddha, dan seterusnya. Perbedaannya, bagi etnis Rohingnya, pengelompokan tempat tinggal tidak lagi hanya pengelompokan, tetapi juga penjara.
Ketika mata pencaharian dibicarakan dalam film, kita mendengar si perempuan mengaku tidak ngapa-ngapain dan tidak kemana-mana setelah menikah. Si laki-laki, sementara itu, mengalami perlakuan tidak menyenangkan di tempat kerjanya di pasar karena mukanya yang mirip etnis Rohingnya. Dari pengalaman si laki-laki, muncul pertanyaan, jika yang mirip saja diperlakukan begitu, bagaimana dengan yang memang benar-benar? Orang Rohingya tidak bisa bekerja di lingkungan tinggal mereka, dan mereka juga tidak boleh keluar dari sana. Apa kondisi semacam ini memungkinkan orang bertahan hidup? Bagaimana cara mereka bertahan hidup? Pada akhirnya, film mempertemukan penonton dengan seorang Rohingnya, perempuan, 38 tahun, yang mengaku tidak pernah keluar dari area tinggalnya seumur hidup, dan hidup bergantung pada bantuan kerabat dari luar Rakhine. Mendengarnya, penonton mungkin teringat si subjek perempuan satunya. Konteks dan kondisi keduanya mungkin berbeda, alasan mereka tidak bekerja pun berbeda. Namun, ada gaung yang membuat keduanya terhubung.
Tarikan terhadap konteks yang tidak melulu soal Rohingya juga bisa ditemui di sepanjang film. Anekdot kecil pertemuan si laki-laki dan perempuan, diberi iringan tradisi pernikahan etnis Hindu di komunitas. Selain memperjelas siapa subjek dalam film dan relasi di antara mereka, cuplikan ini juga memberi napas yang memanusiakan sosok-sosok dalam film. Pertemuan dua orang yang lalu jatuh cinta, menikah, dan berkeluarga adalah hal yang sangat manusia. Upacara pernikahan dengan musik dan tarian serta wajah-wajah tersenyum mungkin membuat kita bertanya, bagaimana mungkin manusia dengan segala tradisinya yang adiwarna adalah makhluk yang sama yang bisa membantai baninya? Darah memang absen dalam film ini, tetapi warna merah baju sang pengantin cukup mendekati.
Anak-anak Rohingya yang lahir pascakonflik tidak berani berteman dengan anak-anak dari luar area tinggal Muslim karena para tetua komunitasnya takut aksi ini bisa tidak sengaja memicu konflik. Subjek laki-laki mengaku khawatir dengan masa depan anaknya, dia ingin kehidupan si anak lebih baik, berharap bisa menyekolahkannya hingga SMA. Film tidak membahas persoalan pendidikan anak-anak Rohingya. Filmmaker seperti memancing agar penonton mengira-ngira–dari aspek-aspek lain yang sudah dibahas, atau mencari tahu sendiri.
Bagian-bagian film di atas ditampilkan dengan durasi singkat-singkat. Anehnya, konstruksi yang demikian menambah efek kontemplatif dalam film. Ditambah refleksi-refleksi dari filmmaker– yang juga berperan sebagai narator, dan jawaban/pertanyaan dari subjek di bahasan-bahasan penting, efek ini diperkuat. Pada akhirnya, Worlds Apart menggambarkan betapa jarak yang mungkin hanya beberapa jengkal, dan perbedaan yang—mengutip subjek laki-laki—tidak akan berarti dalam kematian, bisa memisahkan teman, tetangga, kerabat, seolah-olah berada di dunia yang berbeda. Satu-satunya yang menyamakan mereka adalah konflik yang lahir dari perbedaan ini rata dalam memberi dampak negatif di strata kelas mereka.