Saga manusia berkelana meninggalkan tanah kelahiran demi mencari peruntungan di tanah asing adalah saga yang setua peradaban. Mitos dan dongeng mengenal motif hero’s journey. Di dalamnya, tokoh utama (hero) bertualang dari tempat yang dikenal, ke tempat misterius penuh keajaiban, untuk menemukan “jati diri”.
Menonton Help is on the Way terasa seperti menonton dongeng. Kita dikenalkan kepada empat orang hero dengan kisahnya masing-masing. Meri, Sukma, Muji, dan Tari, dua di antaranya sudah memulai kehidupan mereka di negeri antah berantah dalam kisah ini, dan dua di antaranya masih bersiap-siap untuk berangkat. Satu per satu, dengan alur yang maju mundur, kita dikenalkan kepada keempat protagonis. Keempatnya berprofesi, atau akan berprofesi, sebagai asisten yang khusus merawat lansia.
Di sebuah lembaga pelatihan sekaligus perusahaan pengirim tenaga kerja di Indramayu, Meri dan Sukma menjalani karantina untuk belajar semua keterampilan yang diperlukan dalam pekerjaannya. Mulai dari cara berdiri dan menyambut majikan, bahasa Inggris dan bahasa negeri tujuan, hingga keterampilan spesifik perawatan lansia seperti membangunkan dari tempat tidur, membantu ke kamar mandi dan di kamar mandi, dsb. Dengan latar belakang yang hampir sama, dan usia yang hampir sama (Meri 21 sementara Sukma 26), Meri dan Sukma berbagi hari-hari penuh kisah—tentang keluarga, kekasih, mimpi dan keinginan mereka—sambil menunggu pekerjaan memanggil.
Tari dan Muji, sementara itu, berusia 35 tahun dan 40 tahun masing-masingnya, sudah beberapa tahun menetap di negeri asing. Muji bekerja di sebuah keluarga untuk merawat ibu majikannya yang lanjut usia sekaligus mengidap dementia dan parkinson, sementara Tari memilih bekerja di sebuah care home, tidak terikat di satu keluarga dan merawat beberapa orang lanjut usia sekaligus. Keduanya pernah menikah sebelum bercerai, sehingga kisah yang mereka bagikan membawa juga persoalan domestik yang mungkin kerap dialami tenaga kerja asing perempuan yang bekerja jauh meninggalkan keluarganya selama bertahun-tahun.
Keempat subjek utama dalam Help is on the Way adalah perempuan, yang kita lihat berasal dari tiga generasi usia yang berbeda. Meri dan Sukma, umur tidak jauh berbeda dan belum menikah, memberi penonton lebih banyak konteks keluarga dalam cerita. Sukma memiliki keluarga yang terlihat cukup hangat. Bapak-ibunya memberinya perhatian serta dukungan untuk melakukan yang dia inginkan, dalam hal ini bekerja di luar negeri. Meri, sementara itu, datang dari keluarga yang lebih pragmatis. Keinginan bekerja di luar negeri tidak berasal dari dirinya, tetapi keluarganya, dan Meri hanya menurut. Jika Sukma ingin mencari banyak uang karena ingin memberangkatkan ibunya haji, Meri sebenarnya tidak ingin bekerja ke luar, dan hanya memenuhi permintaan keluarganya yang membutuhkan uang lebih.
Dari kisah keduanya kita mendapatkan kontras. Sukma menunggu hari keberangkatannya dengan penuh harap, sementara Meri dengan diselingi ratap. Ada juga faktor percintaan yang ikut berkontribusi dalam kontras ini. Sukma relatif belum terikat, hubungan yang dia miliki adalah kekasih yang selama ini juga LDR. Berbeda halnya dengan Meri, yang sudah tunangan, dan sebetulnya bisa saja langsung menikah—karena kondisi calonnya sebenarnya sudah cukup mapan. Dua motif perjalanan yang sama, dengan motivasi yang berbeda. Help is on the Way memberi wajah pada para tenaga kerja asing yang selama ini mungkin hanya kita dengar ceritanya lewat berita, dalam kasus yang bisa jadi itu-itu saja.
Di sini, Sukma mewakili jutaan Sukma yang lain, yang ingin menyenangkan orang tuanya lewat kerja keras. Sementara Meri merepresentasi jutaan Meri lain, yang berusaha memenuhi perannya sebagai anak, yang kebetulan didefinisikan sebagai tenaga kerja ekstra dalam keluarga. Ada kenaifan dalam kisah mereka, ekspektasi bahwa rintangan dalam hero’s journey ini akan terlewati. Negeri penuh ‘keajaiban’ yang mereka tuju pada akhirnya akan membantu mereka menjelmakan diri, memenuhi semua janji-janji seusai kesulitan yang menyertai. Seperti halnya ilustrasi dalam puisi yang mengiringi keberangkatan Sukma.
Sementara itu, dari Tari dan Muji, yang sudah lebih dulu menapaki tanah negeri asing, penonton diberi dongeng yang sedikit berbeda. Lewat Muji dan kehidupannya di rumah tempatnya bekerja, kita melihat rutinitas yang tampak dijalani dengan teduh. Majikan Muji perempuan, orang yang dia rawat pun kebetulan perempuan. Kita mendengar majikan Muji menganggap Muji bukan lagi sekadar karyawan, tetapi keluarga. Kita mendengar Muji yang bercerita bahwa majikannya curhat kepadanya, membuka fakta bahwa keduanya memiliki latar domestik yang serupa (diselingkuhi dan bercerai). Meski ama tidak bersuara, kita melihat interaksinya dengan Muji. Muji, majikannya, dan ama saling bergantung dan membutuhkan, membentuk ikatan dan dunia yang tidak lagi melulu transaksional.
Pada cuplikan keseharian Muji, penonton juga diberi gambaran ekosistem yang terbentuk oleh Muji dan perempuan-perempuan seprofesinya. Kita melihat mereka berkumpul, makan bersama, saling menceritakan—bahkan membanggakan— orang yang mereka rawat. Tidak jauh beda dengan para ibu-ibu yang berkumpul menceritakan dan membanggakan anak-anak mereka, yang mungkin tidak mengherankan. Muji dan kisahnya adalah dongeng tentang komunitas dan solidaritas. Dipertemukan lewat kebutuhan, disatukan lewat waktu dan kebersamaan.
Lain lagi cerita yang dimunculkan lewat Tari. Tari penuh semangat, selalu tersenyum, dan pintar menghadapi antiknya para penghuni care home. Dia punya segudang cita-cita, ingin menyelesaikan sekolah, ingin menulis dan menerbitkan buku, yang katanya terinspirasi Haruki Murakami. Hari-harinya terlihat penuh petualangan, bersepeda bersama teman-teman, memberi wejangan percintaan canggih, dan entah apa lagi yang tidak tertangkap kamera. Meskipun begitu, Tari tidak lepas dari suka duka. Dia punya penyesalan tentang ayahnya, yang punya harapan besar untuknya. Tari mengalami kehamilan yang tidak direncanakan, dan harus menikah muda, memotong singkat harapan ayahnya, dan mungkin juga harapan Tari. Mendengar hal ini, penonton mungkin berhenti sebentar, teringat oleh banyaknya kasus serupa. Kisah Tari adalah dongeng tentang terbuka kembalinya kemungkinan, dan penebusan (tidak hanya untuk ayah Tari, tetapi juga untuk dirinya sendiri).
Help is on the Way tidak hanya melihat fenomena tenaga kerja asing lewat sudut pandang yang humanis, tetapi juga membicarakan dengan baik ragam persoalan yang melatarbelakangi, dan lahir, dari fenomena ini. Bahasan-bahasan besar dimunculkan dari yang personal, dari yang dekat. Kita dibuat peduli dengan Sukma, Meri, Tari, dan Muji, dibuat peduli dengan masalah dan keluh kesah mereka. Meski tempat tujuan mereka bukan benar-benar negeri antah berantah, keempat subjek berangkat tanpa tahu bagaimana nantinya kehidupan mereka di sana. Ada ketakutan dan harapan. Dua hal yang sangat universal, memudahkan penonton untuk berempati. Lewat film, kita seolah bersama Sukma, Meri, Tari, dan Muji dalam perjalanan mereka. Saat kredit bergulung, sebagian dari kita mungkin berdoa.