Karir di bidang atletik sangat bergantung pada tubuh yang lewat serangkaian latihan dapat mengakomodasi cabang olahraga spesifik dengan baik. Artinya, atlet memiliki usia ideal untuk berkarir. Rata-rata, atlet profesional pensiun di rentang usia 30-35, atau di beberapa cabang olahraga bahkan sebelum menginjak 30—usia yang jika ditarik ke profesi lain di luar atletik merupakan usia pertengahan karir. Sebaliknya, atlet mulai berlatih dan berkompetisi di usia yang sangat muda, 6 tahun atau mungkin kurang dari itu.
Latihan yang berat dan menyita waktu kemungkinan besar menghilangkan kesempatan bagi para atlet untuk melakukan hal lain di periode karir mereka. Segala macam persiapan yang dilakukan orang pada umumnya sebelum mendapat pekerjaan: sekolah, kursus, kuliah, magang—mungkin tidak mereka lakukan, sesederhana karena waktu yang tidak cukup, atau pilihan untuk fokus ke karir olahraga.
Tidak sedikit dari para atlet ini yang membawa kebanggaan bagi daerah/negara asal mereka, apalagi jika prestasi mereka menembus nasional, atau internasional. Hal ini mungkin membuat kita berpikir, tentunya ada tanggung jawab tersendiri dari daerah, negara, untuk memastikan para atlet ini berkehidupan layak pasca karir olahraga mereka. Bahkan tanpa adanya prestasi, negara menjamin hak hidup rakyatnya, sehingga pertanyaan soal pekerjaan yang bisa dilakukan pensiunan atlet agar hidup layak tentunya tidak sulit dijawab.
Atau benarkah demikian?
Marzuki (2018), sebuah film dokumenter animasi pendek karya M. Alfath Syahalam, memberi satu jenis jawaban yang mungkin di luar harapan. Marzuki, subjek utama film, adalah seorang pensiunan atlet yang bekerja sebagai guru honorer di sebuah sekolah dasar. Tidak ada penjelasan eksplisit tentang bidang yang ia ajar, alih-alih penonton diberi sajian animasi Marzuki berdiri di tengah lapangan sepak bola dikelilingi struktur yang mirip sekolah.
Kehidupan guru honorer tidak mudah. Fakta ini diilustrasikan dalam film. Marzuki bermasalah dengan kepala sekolah, dengan gaji yang kerap tidak dibayarkan. Ini belum termasuk nominalnya. Wajar tentu, jika Marzuki ingin memperbaiki kondisi. Apalagi ia tidak sendiri, ada anak dan istri yang ia pikirkan. Marzuki ingin statusnya yang guru honorer berubah menjadi PNS. Proses yang ternyata tidak semudah yang ia angankan.
Agar bisa diangkat menjadi PNS, jenjang pendidikan S1 dibutuhkan. Penonton tidak menemukan informasi soal pendidikan terakhir Marzuki lewat film. Yang penonton temukan adalah detail medali dan sertifikat penghargaan yang memenuhi ruangan, juga teks sejarah yang menjabarkan prestasi Marzuki. Istrinya—yang suaranya memberi narasi di hampir seluruh durasi film—berkali-kali menekankan kualifikasi Marzuki. Sesuatu yang membuat sang istri, di puncak kekesalan (dan mungkin keputusasaan) mempertimbangkan menjual medali-medali Marzuki, karena mengutipnya, buat apa simpan medali, jika tidak ada artinya.
Istri Marzuki (penyebutan ini terpaksa dipertahankan karena film tidak pernah menyebut namanya) jelas merujuk pada kesulitan Marzuki mengganti status menjadi PNS. Kunjungan ke BKD mereka lakukan tak terhitung kali. Audiensi ke Jokowi (saat menjabat sebagai gubernur Jakarta), ke Ahok (mulai ketika masih menjabat wakil gubernur hingga gubernur), pun sudah. Keluh kesah juga disampaikan ke anggota-anggota dewan. Istri Marzuki tidak habis pikir. Bukankah Jokowi pernah menjanjikan semua guru honorer diangkat menjadi PNS jika dirinya menjadi presiden? Apa ia dan Marzuki harus sampai menemui orang nomor satu Indonesia untuk mendapat jalan keluar?
Jika mengikuti jalur standard, Marzuki harus tetap terlebih dulu mendapat gelar S1 sebelum bisa menjadi PNS. Tanpa beasiswa, atau bantuan dana, opsi ini jelas tidak mungkin. Jangankan untuk kuliah, gaji guru honorer untuk kebutuhan sehari-hari saja tidak cukup. Marzuki dan istrinya berdiri di jalan buntu.
Sepanjang film, pendekatan animasi dengan baik menggambarkan kesulitan Marzuki tanpa menjadi eksploitatif. Informasi yang muncul di bahasa visual lewat detail-detail kecil yang ditempatkan dengan jeli menarik penonton masuk ke dalam pengalaman Marzuki dengan cara yang berbeda dari narasi suara, namun saling melengkapi. Intimasi yang dibangun lewat nada suara istri Marzuki yang seolah tanpa sekat dengan penonton, dan cara bercerita yang seperti orang curhat, semakin ditegaskan. Penggambaran sosok Marzuki beserta anak dan istrinya juga menimbulkan kesan hangat, dengan garis yang bersih dan ekspresi yang lugu, berlawanan dengan tokoh-tokoh di luar ketiganya yang kerap tidak memiliki fitur wajah dan terdistorsi figurnya.
Menjelang akhir film, penonton melihat seragam pelatih sepak bolah berwarna biru yang dikenakan Marzuki berubah menjadi putih. Ia duduk di sebuah sofa, dikelilingi awan. Untuk pertama kalinya, penonton mendengar suara Mazuki, bersama teks layar yang menyebut momen-momen besar karir olahraganya. Suara Marzuki mengenang bahwa ia sebetuWlnya senang bekerja di SD, terlepas dari segala kesulitan. Katanya, asal masih ada nyawa, rezeki pasti ada; tidak perlu takut, asal belum mati. Mungkin ada firasat yang muncul pada penonton, karena sesaat kemudian, kita diberi tahu bahwa Marzuki meninggal. Usahanya dan istri tidak pernah membuahkan hasil.
Selesai menonton Marzuki, pertanyaan tentang pekerjaan apa yang menjamin kelayakan hidup pensiunan atlet dan apakah pengadaannya dijamin pemerintah terjawab lewat sebuah contoh. Mungkin ada contoh-contoh lain di luar sana yang memberi jawaban berbeda, penonton bisa berharap. Tapi di skenario ini, pertanyaan baru muncul.
Bagaimana kemudian nasib istri Marzuki dan anaknya?