Relasi manusia dengan alam memang sarat kompleksitas yang pelik untuk diurai. Di satu sisi, manusia bergantung pada alam untuk bertahan hidup; di sisi lain, alam tidaklah konstan. Dalam kondisi ekologi saat ini, manusia dan alam berada pada ekuilibrium yang tidak lagi seimbang. Manusia memanfaatkan alam lebih dari sekedar untuk bertahan hidup. Sementara itu, usaha untuk mengembalikan apa yang manusia ambil dari alam masih kurang. Begitu jauhnya eksplorasi beralih ke eksploitasi, muncul ketimpangan lain dimana persentase besar manusia tidak lagi dapat bertahan hidup dari alam, atau bahkan, menjadi bagian yang dieksploitasi.
Di 1.880 MDPL, Supandi dan Mursiti hanyalah sepasang suami istri yang berusaha bertahan hidup. Berpindah ke Merah Jernang bersama transmigran lainnya dari Jawa, Supandi dan Mursiti tentu mengharapkan kehidupan yang lebih baik (atau setidaknya tidak lebih buruk dari daerah asal mereka). Dengan profesi mereka sebagai petani kopi, pemerintah memberi 2 hektar tanah per KK dan tunjangan hidup selama satu tahun untuk memulai kehidupan mereka di sana. Sampai sini, terlihat tidak ada yang salah dari secuil ilustrasi ini. Sayangnya, Supandi dan Mursiti beserta transmigran-transmigran lain dihadapkan fakta bahwa tanah resmi dari pemerintah tidak ideal untuk bertani kopi.
Film dibuka dengan penonton yang dihadapkan pada brutalnya hutan yang hampir gundul, bisingnya suara gergaji mesin yang sibuk menggundulkan pohon-pohon yang masih berdiri. Lalu penonton dibawa ke area pemukiman yang bisa jadi mengingatkan kita pada kampung-kampung kita sendiri, lingkungan kita sehari-hari. Kita bertemu Supandi dan Mursiti, mengawali hari mereka di lahan kopi (yang resmi dari pemerintah). Sambil memanen hasil, percakapan Supandi dan Mursiti membeberkan permasalahan yang lebih besar antara alam dan manusia.
Penonton diajak untuk mengetahui tentang persoalan tanah. Komposisi tanah di lahan resmi lebih banyak tanah liat ketimbang tanah hitam. Komposisi tanah seperti ini tidak cocok untuk kopi, harus diberi banyak pupuk jika ingin menghasilkan. Cuaca (angin) pun tidak mendukung di elevasi ini. Faktanya, tanah dengan kemiringan lebih dari 45% memang tidak cocok untuk budidaya kopi. Para petani kopi membutuhkan opsi lain untuk bertahan hidup. Dengan pengetahuan bahwa kopi paling baik ditanam di area landai, mereka membuka tanah di wilayah hutan lindung.
Pembawaan keduanya sederhana, penjelasan mereka tentang kopi dan proses tanam mereka pun sederhana. Dua kontras ini menghadirkan kompleksitas dalam film: hutan yang dibabat tampak sangat menyedihkan, tapi orang-orang ini berusaha terus hidup.
Percakapan yang berangkat hanya menyoal kopi mulai merambah ke permasalahan domestik ketika pupuk dibahas. Supandi dan Mursiti butuh uang untuk pupuk, sementara hutang mereka untuk transaksi pupuk sebelumnya belum lunas. Pun, ada persoalan biaya sekolah yang harus dipikirkan.
Ada hal menarik di sini. Ketika topik kebutuhan uang sekolah dibawa bersamaan dengan kebutuhan untuk pupuk, Mursiti berkomentar: "Daripada untuk bayar hutang, lebih baik untuk kebutuhan anak sekolah." Meski tidak dieksplorasi lebih lanjut dalam film, tetap menarik untuk memetakan motivasi-motivasi apa yang melatarbelakangi pola pikir macam ini.
Hal yang konsisten dimunculkan sepanjang film adalah perspektif penduduk transmigran yang berprofesi sebagai petani kopi. Urusan finansial menjadi dorongan utama semua subjek. Bahkan pengusaha pupuk yang tidak bisa memberikan tambahan hutang kepada Supandi dan Mursiti, karena urusan finansialnya sendiri mungkin akan terganggu jika terus memberi pilihan hutang. Lewat selorohnya, Mursiti adalah anomali, sekaligus suara tunggal dari transmigran-transmigran lain dengan permasalahan finansial serupa. Bahkan ketika dia butuh pupuk, bahkan ketika hutang menumpuk, prioritas finansialnya tetap untuk pendidikan anaknya.
Mungkin penonton bertanya-tanya, di mana pemerintah? Apa yang mereka pikirkan? Apa yang mereka lakukan? Pemerintah dalam film ini adalah pemerintah desa yang implikasinya tidak jauh beda dari rakyat. Perspektif yang muncul dari “pemerintah” ini acapkali adalah permakluman-permakluman: Ya, tidak apa-apa buka lahan di hutan lindung asal untuk usaha sendiri. Ya, tidak apa-apa asal tidak lebih dari dua hektar. Ya, tidak apa-apa asal tidak dijual. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Kenapa lahan yang dimodalkan ke petani kopi ternyata tidak cocok untuk bertani kopi? Apa pemerintah tidak melakukan riset sebelumnya? Apa pemerintah tidak peduli? Kenapa tidak ada tindakan apapun hingga 19 tahun sampai para petani kopi terpaksa membabat hutan lindung? Tidak ada jawaban.
Ironisnya, tidak adanya jawaban-jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan besar ini menjadi kekuatan tersendiri dari film. Figur otoritas pembuat kebijakan yang punya kekuatan untuk membuat perubahan sistemik, absen sepanjang film. Ini mungkin menjadi gambaran bagaimana sosok ini absen di hampir semua persoalan masyarakat. Rakyat dituntut untuk berdaya sendiri, dengan pengorbanan-pengorbanan yang tidak terhindarkan.
Seolah belum cukup, petani kopi—dan penonton—kembali dihantam fakta bahwa seluruh area: lahan resmi, pemukiman, ternyata masuk dalam wilayah hutan lindung. Ini melontarkan ironi ke langit ketujuh: apakah berarti sedari awal keberadaan mereka di Merah Jernang bertentangan dengan hukum?
Film ditutup dengan nada yang cukup ambivalen. Rakyat mungkin lelah, atau tidak memiliki waktu untuk lelah dengan pertanyaan-pertanyaan besar itu. Faktanya, mereka bisa dan sudah membuka lahan kopi baru di area yang lebih cocok untuk budidaya kopi. Faktanya, mereka saling sepakat untuk hanya memotong hutan seperlunya. Mereka sudah tinggal di sana bertahun-tahun dan hampir tidak memiliki opsi lain selain terus hidup di Merah Jernang.
Ketika para petani kopi ini duduk dan saling tersenyum di sela-sela obrolan di atas pohon tumbang membicarakan masa depan kebun kopi mereka; ketika mereka kembali ke rumah masing-masing dan berkegiatan seperti yang sudah-sudah; ketika anak-anak kecil tertawa melihat kamera, polos dan gembira—penonton mungkin hanya bisa menghela napas, dengan perasaan yang sepelik relasi manusia dengan alamnya.
"Persiapan dan Kesesuaian Lahan pada Tanaman Kopi" (perkebunan.litbang.pertanian.go.id)