Sebelum bicara minat baca peserta didik, bagaimana dengan diri sendiri? Kecuali jika sudah lebih dulu tertarik dengan topiknya, kecil kemungkinan untuk meluangkan waktu beberapa hari (atau minggu) untuk menghabiskan sebuah buku non-fiksi. Di masa lalu membaca buku atau tulisan panjang menjadi pilihan ideal pengisi waktu luang. Di era banjir informasi seperti saat ini, pilihannya begitu banyak—sedangkan waktu begitu sedikit. Membaca tulisan panjang terasa seperti komitmen ekstra, baik dari waktu maupun tenaganya.
Jika waktu untuk menghabiskan buku selama beberapa hari atau minggu bisa ditukar dengan dua jam saja menonton film (atau bahkan kurang), kepuasan mengenal dunia baru yang didapatkan bisa sama (atau bahkan lebih!). Beban mengumpulkan tekadnya akan jauh berkurang dan lebih besar pula kemungkinan kita akan mencobanya.
Mungkin inilah salah satu sebab sinema dianggap sebagai medium yang paling dahsyat pengaruhnya—terlebih lagi di tengah zaman informasi yang semakin visual (Winton, 2010). Beruntung bagi yang bisa memilih untuk mencerna informasi dengan membaca atau menontonnya. Bagaimana dengan para peserta didik? Jika ingin memancing minat baca yang tulus, bagaimana cara melakukannya sembari berkata 'harus'?
Buku Teks di Kelas
Metode pembelajaran ruang kelas yang 'tradisional' penuh dengan nuansa 'harus'. Bentuk-bentuk pengajaran tradisional—seperti ceramah, tanya jawab, dan penugasan yang hanya mengandalkan buku teks saja—cenderung bersifat satu arah. Buku teks memang berperan penting untuk menciptakan fondasi pengetahuan umum. Namun, metode tradisional yang satu arah ini menimbulkan sejumlah permasalahan (Tuflikah, 2013).
Ezra Winton dalam artikelnya yang bertajuk Beyond the Textbook : Documentaries as a Tool for Teaching menyatakan; jika arah pengajaran suatu kelas sepenuhnya selaras dengan narasi buku teks (hanya mengandalkan buku teks saja), peserta didik menjadi tidak terbiasa untuk berhadapan dengan perspektif alternatif ataupun mempertanyakan kembali informasi yang mereka dapatkan dengan sikap kritis. Dan masalah yang hadir bukan cuma soal partisipasi para peserta didik dengan buku teksnya, metode tradisional ini juga turut menempatkan beban yang besar di pundak guru. Guru menjadi sosok pemegang kendali tunggal atas pengetahuan di ruang kelas, dan menjadi satu-satunya sosok yang dapat murid andalkan untuk memberikan perspektif kritis.
Pertama, saat muncul banyak kata yang terasa asing bagi peserta didik dalam buku teks, dapat timbul kerancuan dan akhirnya materi belajar pun kurang tersampaikan dengan baik. Kedua, dalam proses satu arah ini, peserta didik cenderung menjadi pendengar saja tanpa proses belajar 'aktif'. Dampaknya jelas: mereka jadi malas dan mengantuk. Proses belajar pun identik dengan rasa bosan.
Menurut Alfian et al (2019), kebanyakan murid malas membaca karena bahan pelajaran mereka sepenuhnya terdiri dari teks.
Sebaliknya, kehadiran gambar dapat meningkatkan minat belajar secara signifikan. Buku pelajaran bahasa Indonesia yang penuh cerita dan ilustrasi rasanya jauh lebih bikin semangat, dibandingkan buku matematika yang dipenuhi rumus dan latihan soal. Variasi antara teks, gambar, dan perspektif lain selain pengajar dan peserta didik dapat dihadirkan lewat dokumenter. Memperkuat hal ini, Alfian et al (2019) berpendapat bahwa materi pembelajaran yang menarik perhatian peserta didik akan turut meningkatkan kenyamanan belajar. Kekosongan perspektif kritis dari metode pengajaran tradisional inilah yang dapat diisi oleh film dokumenter (Winton, 2010). Alih-alih penyeragaman, dokumenter biasanya hadir dengan perspektif alternatif yang berbeda dengan narasi umum. Jika murid terlatih merefleksikan dua atau lebih pandangan yang berseberangan, beban guru pun dapat menjadi lebih ringan. Proses belajar mengajar juga akan bergeser—dari yang semula berpusat pada guru (teacher-centered) menjadi berpusat pada murid (student-centered). Kuncinya di sini adalah memancing murid agar belajar secara aktif.
Memadukan Edukasi dan Hiburan, Mungkinkah?
Lanskap media saat ini tengah bergeser ke arah tren yang semakin audio-visual. Dokumenter punya keuntungan dari segi ini, karena ia bicara dalam bahasa audio visual. Di sisi lain, dokumenter juga perlu bersifat menghibur jika ingin menyampaikan pengetahuan secara efektif. Dokumenter yang baik tak sekadar menarasikan data, tapi juga memberikan cerita. "Keunggulan dokumenter terletak pada kemampuannya menyampaikan pengetahuan melalui cerita—bukan sekadar statistik atau data, " ujar sutradara film dokumenter sekaligus dosen komunikasi Universitas Concordia, Liz Miller. "Secara insting kita terbiasa merespon cerita. Informasi yang disajikan lewat cerita akan lebih mudah dicerna oleh kita."
Kemampuan untuk bercerita ini membuat dokumenter punya nilai hiburannya sendiri, Nilai hiburan dan informasi dokumenter tidak harus bertentangan—seperti yang diungkapkan Erik Chevrier, seorang tenaga pengajar yang banyak bekerja dalam proyek literasi untuk anak muda (dalam Winton, 2010: 16). Berdasarkan pengalamannya, Chervier melihat bahwa dokumenter yang terasa akrab untuk murid-muridnya adalah dokumenter yang berhasil masuk ke 'bahasa' yang mereka pahami: hiburan.
Sebenarnya film dokumenter telah banyak bertebaran, tapi tidak semuanya mudah untuk digunakan untuk kegiatan belajar mengajar. Menurut Alfian et al (2019: 2), hal ini karena tidak semua film dokumenter dibuat dengan mengacu pada sasaran pembelajaran di kelas ataupun didampingi dengan panduan belajar yang sesuai.
Dengan menjawab permasalahan ini, VITAMIN berupaya memaksimalkan potensi film dokumenter untuk pengajaran. Selain menyeleksi film dokumenter menjadi klip yang sesuai konteks pendidikan, VITAMIN juga menyediakan Panduan Belajar yang memudahkan pembahasan di kelas.
Efek Film Dokumenter bagi Murid
Tuflikah (2013) mengamati bagaimana mata pelajaran IPS punya banyak potensi untuk disampaikan secara menarik. Pada sebuah kelas di SDN Simomulyo I (Surabaya, Jawa Tengah), banyak siswa yang nilai IPSnya masih di bawah KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Dan hanya sedikit siswa di kelas itu yang menyukai pelajaran IPS. Film dokumenter pun dicoba sebagai cara alternatif untuk menyampaikan mata pelajaran IPS di kelas itu. Setelah tiga kali siklus pembelajaran dengan dokumenter, Tuflikah mencatat, respon belajar siswa terhadap pelajaran IPS meningkat pesat dari 76,52% menjadi 96,31%.
Sementara itu, Alfian et al (2019) mengukur peningkatan minat belajar siswa pasca penggunaan film dokumenter di ruang kelas. Minat belajar ini diukur dengan menggunakan model pembelajaran ARCS (Attention, Relevance, Confidence, Satisfaction — Atensi, Relevansi, Kepercayaan Diri, Kepuasan). Pada sebuah kelas di SMP Negeri 6 Pangsid (Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan), minat belajar siswa terbukti meningkat dari 60,28% menjadi 94,68% setelah film dokumenter digunakan dalam pengajaran. Dari keempat indikator ARCS, 'atensi' murid mengalami peningkatan paling tinggi.
Penggunaan medium visual untuk peningkatan atensi peserta didik dibuktikan pula oleh pendapat keponakan Ezra Winton, penulis artikel Beyond the Textbook: Documentaries as a tool for teaching. Menurutnya untuk anak muda yang kurang tertarik dengan gaya belajar tradisional, edukasi menggunakan medium visual jauh lebih menarik dibandingkan hanya duduk dan membaca buku teks saja.
Di satu sisi, pernyataan ini bisa jadi membuat gelisah tenaga pendidik dan pegiat literatur. Di sisi lain, fenomena ini adalah realita sosial yang—suka atau tidak suka—perlu kita hadapi. Pengajar dapat beradaptasi dengan melatih peserta didik melakukan riset yang baik dari sebanyak mungkin sumber dan medium untuk membantunya mengembangkan kemampuan nalar kritis yang sesuai. Media akan terus berkembang dan berkembang sangat cepat, bukan berarti hal ini berarti ‘kiamat’ bagi minat baca. Kita bisa memilih untuk mengabaikannya, atau menyusun strategi untuk beradaptasi dengannya.
Referensi:
Alfian, A., et al. "The application of documentary film in improving student interest: An alternative for environmental education." IOP Conference Series: Earth and Environmental Science. Vol. 343. No. 1. IOP Publishing, 2019.
Tuflikhah, Irul. "Penggunaan film dokumenter untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran ips kelas V sekolah dasar." Jurnal Penelitian Pendidikan Guru Sekolah Dasar 1.2 (2013): 1-11.
Winton, E. “Beyond the Textbook: Documentaries as Tools for Teaching,” POV Magazine, Issue 77, Spring 2010.