Perang selalu meninggalkan luka yang dalam. Begitu dalam. Sehingga kerap butuh waktu menahun untuk menyembuhkan luka yang mengkristal menjadi trauma. Tahun 1999, saat perang di Ambon berkecamuk memaksa siapapun terlibat dalam konflik, ribuan anak-anak harus siap angkat senjata, dan lebih dulu akrab dengan kematian. Trauma atas perang Ambon telah menubuh pada mereka yang menjadi saksi, korban, sekaligus pelaku. Salah satu anak yang hidup dengan trauma itu adalah Ronald Regang.
Film dokumenter Luka Beta Rasa (2020)—yang diadaptasi dari buku Keluar dari Ekstrimisme: Delapan Kisah “Hijrah” dari Kekerasan Menuju Bina Damai (2018)—mengajak kita mengikuti Ronald Regang, seorang mantan tentara anak yang masih berumur 10 tahun ketika konflik Maluku pecah. Sebuah konflik yang disinyalir dipicu oleh isu SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan). Melalui Ronald, Amanda Valani sebagai sutradara mengajak penonton berjumpa dan berkenalan dengan kisah anak-anak lain yang punya trauma atas perang seperti Ronald.
Trauma adalah “sesuatu” yang sangat kuat. Secara definitif trauma hadir dan dapat membentuk/mengubah cara pandang dan tingkah laku seseorang. Ketika suatu film hendak menceritakan pengalaman trauma, bisa jadi memantik kembali trauma bagi korban, saksi mata peristiwa dan juga penonton. Terutama ketika traumanya berkaitan dengan ingatan tentang kekerasan dan kejahatan HAM. Oleh karenanya presentasi trauma dalam medium film (dan seni lainnya) menjadi kompleks.
Film Luka Beta Rasa nampaknya sadar akan potensi visual yang dapat memantik kembali trauma, dengan tidak menampilkan footage langsung dari peristiwa perang yang terjadi. Penonton dapat membayangkan betapa trauma atas perang yang mengerikan itu melalui perbincangan Ronald dan teman-temannya. Misal melalui perbincangan dengan Salfatoris Rerebain yang terlibat konflik saat usia 9 tahun. Salfatoris menceritakan bagaimana suara Adzan kadang membawanya kepada memori di masa lalu. Ketika itu, adzan subuh menandai penanda kalau konflik akan segera dimulai. Selain suara adzan, hal-hal lumrah bagi kebanyakan orang seperti suara tiang listrik yang dipukul dan suara petasan dapat memantik ingatan atas masa lalu mereka yang mengerikan.
Keterlibatan anak-anak dalam perang tidak hanya terjadi di Ambon, tetapi telah menjadi fenomena global yang memilukan. Di Afrika misalnya, seperti dikatakan oleh antropolog asal Mozambik, Alcinda Honwana dalam bukunya Child Soldiers in Africa (2006), perang sipil yang terjadi di daerah seperti Mozambik dan Angola melibatkan ribuan anak-anak. Anak-anak itu bukan hanya menjadi korban tetapi juga menjadi kombatan yang terlibat langsung di garis depan. Akibatnya selain luka sosial yang diakibatkan oleh perang antar golongan, trauma menjadi kawan hidup anak-anak ini sampai dewasa.
Dalam Luka Beta Rasa, banyak rekan semasa kecil Ronald masih punya perasaan was-was dan takut bahkan ketika konflik telah lama usai. Dalam pengakuannya, Ronald masih sering memimpikan wajah-wajah orang yang pernah ia bunuh. Hidup berdampingan dengan trauma, Ronald melakukan perjalanan (hijrah) dan menemukan dukungan dari lingkungan, komunitas gereja dan Pendeta Jacky. Peran lingkungan dan komunitas lokal amatlah penting dalam menanggulangi trauma. Honwana mengingatkan pentingnya komunitas lokal yang paham soal konteks, kearifan lokal dan budaya suatu daerah, untuk mengupayakan rekonsiliasi dan kebertahanan hidup jangka panjang.
Melalui perjalanan Ronald dan kisah rekan-rekannya, film Luka Beta Rasa menyediakan forum bagi para korban untuk melibatkan saksi sekunder; filmmaker dan penonton. Kita mendengar kisah-kisah mengerikan tentang pembunuhan dan penderitaan mereka. Bersama dengan filmmaker, kita tidak hanya menjadi saksi tetapi juga berbagi empati dalam rasa sakit mereka. Kita tidak terjebak dalam narasi kebencian, mencari siapa yang benar dan salah. Sibuk dalam pencarian siapa yang jahat dan siapa yang baik, bisa saja membuat kita lupa berempati kepada korban.
Empati menjadi sesuatu yang penting ketika berhadapan dengan penyintas trauma. Dengan empati, kita secara aktif dapat mengapresiasi upaya-upaya yang dilakukan penyintas untuk mengobati traumanya. Dari kisah Ronald dan rekan-rekan semasa kecilnya, penonton tahu jika mereka berusaha berdamai dengan waktu. Mereka tidak ingin terus berkutat pada keterpurukan dan memilih jalan damai sebagai jawaban. Ronald misalnya dengan bantuan Pendeta Jacky, berusaha menatap masa depan dan menebus utang masa lalunya dengan mengkampanyekan perdamaian.
Dengan menampilkan upaya-upaya para penyintas untuk bangkit, Luka Beta Rasa bukan hanya menjadi catatan visual tentang trauma perang. Tetapi film ini juga menjadi agen hidup yang melibatkan penonton dan membangkitkan empati bagi para korban. Kisah-kisah penyintas yang mencari jalan untuk sembuh seperti Ronald menjadi penting karena persoalan trauma masih tabu. Tidak ada yang ingin terjebak dalam kubangan trauma. Namun kebanyakan dari para penyintas masih kebingungan dan merasa tidak punya rekan untuk bercerita.
Pada akhirnya, Luka Beta Rasa bagaimanapun menjadi media bagi Ronald dan rekan-rekannya untuk menampilkan pesan damai dan bagaimana mereka berusaha melampaui traumanya. Tidak sepenuhnya usai memang, bekas luka itu tentu masih ada. Namun, dengan menampilkan para subjek yang mulai melakukan hal-hal positif dan memperjuangkan kedamaian, cahaya damai dari hati mereka (semoga) bisa menjadi obat mujarab untuk luka masa lalu.
Ditulis oleh Ahmad Fauzi