Ada enam agama yang diakui secara resmi di Indonesia: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Bagaimanapun, tercatat ratusan agama di luar dari enam yang diakui tersebut (diistilahkan dengan agama penghayat). Carles Butar Butar dan keluarganya dalam Ahu Parmalim (Cicilia Maharani, 2017) merupakan salah satu contoh penganut agama-agama minoritas ini.
Adalah Parmalim (Ugamo Malim), agama yang—mengutip Carles—lahir dari Tanah Batak. Kepercayaan ini sedikit demi sedikit tersibak lewat Carles, seorang remaja sekolah menengah kejuruan mesin yang bercita-cita menjadi ‘angkatan’ (polisi). Berlatar tempat di Toba Samosir, Sumatera Utara, kita melihat bagaimana kepercayaan terjalin erat dengan keseharian. Carles yang membantu orang tuanya menanam padi, bersekolah dan berkegiatan sesuai aspirasinya, terlihat sederhana namun teguh. Patik (dalam Bahasa Batak berarti aturan atau larangan) ketiga Ugamo Malim selalu dia ingat: ‘Rajin bekerja, supaya ada bekal untuk memuliakan nama-Nya’. Menurut Carles, ‘bekerja’ di sini adalah bekerja sebagai pelajar (karena saat ini dia pelajar), rajin belajar untuk mencapai cita-cita, yang nantinya bisa jadi bekal untuk memuliakan Tuhan.
Terlihat, Carles sangat menyeriusi pendidikan dan cita-citanya. Guru wali kelasnya bercerita bahwa Carles menonjol di banyak mata pelajaran. Penilaian di luar studi pun (sosial, pribadi, kelakuan, kerajinan, dsb) baik. Jelas digambarkan bahwa Carles remaja yang tekun. Carles mengikuti ekstrakurikuler PKS (Patroli Keamanan Sekolah) dan Kungfu yang dia pilih karena sejalan dengan cita-citanya sebagai polisi. Ada pemaknaan tersendiri terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukannya. Sama seperti Carles memiliki pemaknaan atas patik ketiga agamanya.
Tempat belajar Carles tidak terbatas di sekolah. Kegiatan Carles membantu orang tuanya bekerja di sawah, mungkin tanpa dia sadari, adalah tempat belajar tersendiri. Carles tentu memiliki pemaknaannya, tetapi penonton yang melihat (atau setidaknya penulis ini) bisa merasakan ketulusan dan kedisiplinan Carles. Cita-citanya memang polisi, bukan petani, tetapi latihan di level prinsip, meski dalam aplikasi yang berbeda, tentunya tidak mungkin tidak berguna.
Di lingkungan Carles tumbuh, yang menarik antara agama dan pendidikan adalah sekolah-sekolah di sini memberi ruang bagi agama-agama penghayat. Mengutip Carles, di Toba Samosir sebagian besar sekolah tidak lagi mengharuskan para Parmalim muda untuk belajar agama yang bukan agamanya. Meski hanya sepintas dibahas dalam film lewat celetukan Carles bahwa masih ada teman Parmalim-nya yang harus belajar agama Kristen di sekolah, kita mungkin sering mendengar bahwa faktanya, mayoritas penghayat di Indonesia tidak dapat belajar agamanya sendiri di instansi-instansi pendidikan resmi.
Sila pertama Pancasila jelas ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, bukan ketuhanan mayoritas yang maha esa. Entah telaah konstitusi seperti apa yang bisa melahirkan legislasi dan birokrasi yang diskriminatif terhadap agama-agama penghayat. Diskriminasi yang dampaknya sangat terasa di kebutuhan praktis, identitas kewarganegaraan yang berujung ke akses pelayanan publik. Sedikit kemajuan adalah diperbolehkannya pengosongan kolom agama di KTP. Hanya saja, semua infrastruktur yang tersedia tentu harus sigap mengikuti perubahan ini, karena apa artinya jika peraturan berkata A, tapi praktinya lain hal.
Di sekolah Carles, guru agama Parmalim juga menggabungkan penilaian agama di sekolah (pelajaran agama dan Bina Mental), dengan penilaian agama di luar sekolah. Kita ketahui dari film, agama Parmalim memiliki ruangnya sendiri untuk mendidik generasi mudanya. Di marguru, para Parmalim muda belajar tentang agama mereka dan beribadah. Belajar memahami patik dan bagaimana menerjemahkannya di
keseharian. Implikasinya jelas, agama bukan hanya urusan vertikal tetapi juga horizontal. Sistem penilaian agama di sekolah Carles menjadi menarik karena mencerminkan hal ini, sekaligus aplikasi dari peleburan teori di instansi dengan praktik di masyarakat.
Dari keseharian Carles membantu orang tuanya di sawah, kita dibawa ke aspek finansial Carles dan keluarganya. Menanggapi cita-cita Carles sebagai polisi, ibu Carles berkata “tinggi sekali cita-citanya”. Baginya, untuk Carles yang bertubuh tegap dan memiliki disiplin baik, merantau selepas SMA untuk menjadi satpam terasa tepat. Ibu Carles tidak yakin Carles bisa masuk ke angkatan tanpa uang. Apa mungkin Carles mendapat beasiswa? Ibu dan ayahnya hanya bisa mencoba mendukung aspirasi Carles, meski bukan secara finansial.
Masih terkait urusan finansial keluarga Carles, penonton sedikit mengintip sistem koperasi desa lewat Ahu Parmalim. Ibu Carles melakukan pembukuan keuangan rutin untuk memastikan biaya pendidikan Carles dan saudara-saudaranya terpenuhi. Ibu Carles bercerita, sistem simpan pinjam koperasi sangat membantunya, dan ibu-ibu kampung lainnya. Paling tidak, uang mereka masih bisa berputar memenuhi kebutuhan satu rumah.
Alih-alih membahas agama penghayat dengan nada serius dan berat, Ahu Parmalim lebih terasa seperti catatan harian Carles. Di dalamnya ada Carles dengan keluarganya, ada Carles dengan kesehariannya, dan ada Carles dengan Tuhan-Nya. Di sisi lain, Ahu Parmalim juga dengan halus mengilustrasikan eratnya relasi kepercayaan dengan keseharian. Membicarakan agama tidak harus muluk-muluk, memuliakan Tuhan tidak butuh kemegahan. Lewat keseharian yang dijalani dengan bersahaja—di luar aspek ekonomi, Ahu Parmalim menunjukkan bagaimana aspek religius manusia tergambar lewat kesehariannya.