20 Juli 2015, Majelis Hakim International People Tribunal (Pengadilan Rakyat Internasional) 1965 menyatakan pemerintah Indonesia bertanggung jawab atas 10 kejahatan kemanusiaan berat pada kurun 1965-1966. Pemerintah Indonesia dinyatakan sebagai pelaku yang bertanggung jawab dan harus meminta maaf kepada semua korban, penyintas, dan keluarga mereka atas peran negara dalam semua kejahatan terhadap kemanusiaan, atau kejahatan lain yang terjadi di Indonesia terkait dengan peristiwa ‘65 dan sesudahnya.
Namun, bertahun-tahun berselang sejak keputusan itu, pemerintah Indonesia belum juga melakukan inisiatif untuk rekonsiliasi. Bagi Ibu Uchikowati salah satu korban peristiwa ’65 yang dipaksa wajib lapor sejak umur 13 tahun, rekonsiliasi adalah langkah penting untuk mengurangi ketegangan, dan stigma terhadap korban. Meski begitu, Uchi sadar jika rekonsiliasi struktural antara negara dan korban sulit terwujud. Oleh karenanya Uchi dan beberapa ibu-ibu korban peristiwa ‘65 membentuk paduan suara Dialita (Di Atas Lima Puluh Tahun), sebagai bentuk rekonsiliasi kultural. Sebuah jalan kebudayaan yang ditujukan bagi generasi muda untuk belajar tentang sejarah bangsanya.
Paduan suara Dialita beranggotakan keluarga atau mereka yang pernah ditahan karena tersangkut peristiwa ‘65. Mereka adalah ibu-ibu penyintas yang pernah ditahan, dipenjara, dibuang, diasingkan, tanpa pernah tahu kesalahannya. Shalahuddin Siregar melalui film dokumenter pendek Bangkit dari Bisu (2016)merekam perjalanan paduan suara Dialita menuju pentas peluncuran album “Dunia Milik Kita”. Disaat bersamaan Bangkit dari Bisu memperlihatkan lebih jauh tabir sejarah bangsa ini melalui footage-footage pemaksaan yang dilakukan oleh rezim Soeharto dan kisah personal yang diceritakan para anggota Dialita.
Musik memiliki arti yang begitu dalam bagi para anggota Dialita. Bukan tanpa alasan, seperti yang Uchi katakan, “bernyanyi merupakan trauma healing”. Bagi Uchi, bernyanyi, berkumpul, bercerita dan berbagi pengalaman untuk bertahan hidup adalah upaya keluarga penyintas untuk merawat harapan. Selain itu, bernyanyi juga membuat para anggota Dialita lebih berani. “Kisah yang awalnya bertaun-taun ditutup tidak pernah diceritakan kepada siapapun,” ungkap Uchi baru berani dikisahkan melalui musik Dialita.
Lagu-lagu Dialita menyiratkan harapan bahkan dalam keadaan terburuk sekalipun. Misalnya melalui lirik lagu Kupandang Langit yang diciptakan oleh Koesalah S. Toer, “Bandingkan suasana ini / Di dalam riwayat diri / (Tenggelam dalam riwayat diri) / Biarpun badan lagi terkurung / Tetaplah engkau bertarung”. Koesalah dan istrinya Utati Koesalah telah dipenjara selama belasan tahun, namun harapan dan semangat agar tetap tegar tidaklah tidak pudar. Semua itu terpancar melalui lagu-lagu Dialita, seperti yang dikatakan Arman Dhani dalam Liner Notes untuk album Dunia Milik Kita. “Paduan suara Dialita tidak sedang mewariskan dendam atau mengasihani diri sendiri. Mereka tegak bersuara, dengan merdu tentu saja, menyanyikan lagu-lagu dari masa lalu. Sesuatu yang membuat mereka kuat menghadapi bengisnya penjara, kejamnya diskriminasi, dan jahatnya stigma”.
Stigma bagi para penyintas ’65 memang masih menjadi momok. Bahkan di dalam film mereka masih harus terus awas saat hendak pentas. Mereka sadar banyak pihak yang masih termakan oleh kebencian dan propaganda orba. Ancaman pembubaran bahkan pembunuhan itu nyata adanya dan terlihat juga dalam Bangkit dari Bisu. Misalnya kita melihat melalui footage bagaimana pemutaran film Pulau Buru Tanah air Beta di Festival Film Pelajar Purbalingga, terpaksa tidak jadi tayang karena ada ancaman dari salah satu ormas (organisasi masyarakat) yang mengaku dirinya paling pancasilais.
Meskipun ancaman terus menghantui, paduan suara Dialita tetap maju dan terus bernyanyi. Karena mereka sadar kisah dan lagu-lagu yang dinyanyikan Dialita adalah sebuah pesan penting dari masa lalu untuk generasi muda. Lagu-lagu itu menjadi representasi dari riwayat tentang ratusan ribu tahanan politik Indonesia yang telah direnggut kehidupannya. Mereka yang dicap sebagai komunis seolah dianggap derajatnya lebih rendah dari hewan. Dan propaganda ini terus direproduksi dan dilanggengkan lewat berbagai macam bentuk ancaman pada segala aktivitas yang berkaitan dengan ‘65. Padahal, banyak pelajaran berharga dan penting dari masa lalu. Misalnya seperti pengakuan musisi dari generasi yang lebih muda seperti Bonita. Baginya, dengan ikut dalam proses latihan bersama Dialita telah membuka pengetahuan yang lebih banyak mengenai peristiwa ’65.
Pesan penting yang rasanya hendak disampaikan melalui Bangkit dari Bisu, adalah sebuah tawaran alternatif atas semua propaganda dan stigma bagi para penyintas ’65. Bangkit dari Bisu menunjukkan bahwa tuduhan-tuduhan buruk yang ada saat ini terhadap mereka adalah salah. Sebab apa yang terlihat dalam film ini, juga nada-nada yang dinyanyikan oleh Dialita adalah kisah tentang harapan, cinta dan semangat yang menolak dibungkam.