Belajar Demokrasi Sejak Dini

Belajar Demokrasi Sejak Dini

Setelah rumah dan keluarga, sekolah dasar menjadi tempat yang paling penting dalam pembentukan karakter. Berangkat dari eksperimentasi di dalam kelas, Please Vote For Me (2007), film dokumenter karya Weijun Cheng yang diproduksi The Why menceritakan proses pemilihan ketua kelas tiga di sekolah dasar di Wuhan, Cina. Proses ini merupakan pengalaman baru bagi mereka. Di dua tingkat sebelumnya, posisi itu ditunjuk langsung oleh wali kelasnya. 

Tiga murid maju sebagai kandidat ketua kelas; Luo Lei, Cheng-Cheng, dan Xu Xiaofei. Luo Lei, mantan ketua kelas, tampaknya tidak lagi berambisi dengan memasrahkan pilihan teman sekelas sesuai hati nurani mereka. Sebaliknya, Cheng-Cheng ingin mendapatkan posisi tersebut sebab senang mengatur orang lain. Sedangkan, Xu Xiaofei, satu-satunya calon perempuan, bingung menghadapi pencalonan dan tidak tahu harus melakukan apa untuk mendapat suara.

Mrs. Zheng, wali kelas mereka, menyatakan bahwa proses pemilihan ini ditujukan untuk mempelajari demokrasi. Ia pun menyatakan “ketua kelas kalian adalah pilihan kalian sendiri”. Senada, ayah angkat Cheng-Cheng mengatakan “demokrasi berarti kuasa berada di tangan rakyat sendiri”.

Di tangan masing-masing murid itu, terdapat satu suara untuk pemilihan. Calon dengan suara terbanyak akan menjadi ketua kelas terpilih. Kebijaksanaan ini sejalan dengan teori utilitarianisme yang menilai suatu tindakan berdasar akumulasi keinginan orang-orang yang terlibat. Dengan begitu, mandat normatif untuk memimpin pun berhak dimiliki oleh ketua kelas terpilih. 

Untuk mendapatkan suara, setiap calon ketua kelas menjalani masa kampanye yang terbagi menjadi tiga babak yakni pertunjukan bakat, debat antar calon, dan pidato. Dalam menjalankan kampanye ini, setiap calon pun berhak dibantu dua murid lain sebagai asisten. Selain dibantu dua rekan sekelas, orang tua mereka juga terlibat dalam memenangkan masing-masing anaknya.

Dengan cara ini, Please Vote For Me menunjukkan kesetaraan dalam demokrasi, baik bagi pemilih maupun yang dipilih. Kesetaraan ini pun dapat mengatasi ketimpangan yang ada. Semisal, ketimpangan antara petahana yang telah memimpin dua tahun dengan dua kandidat yang baru diusulkan saat itu.

Cheng-Cheng sebagai salah satu kandidat menunjukkan sisi buruk kepemimpinan Luo Lei saat berdebat. Ia dengan tegas menyatakan Luo Lei sebagai diktator. Pasalnya, ketua kelas lama itu gemar memukul hanya untuk mendisiplinkan teman sekelas. Sebaliknya, ia berjanji akan menghadirkan sistem yang demokratis.

Sistem yang demokratis itu, dalam pidato Cheng-Cheng, berarti pelibatan setiap murid dan wali kelas dalam menentukan posisi komite kelas dan kebijakan kelas. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari keputusan yang tidak adil. Dengan cara ini pula kelas mereka dapat unggul dibanding kelas lainnya.

Perdebatan ini pun membuka ruang dialog antar murid lain. Tidak berlebihan pula bila menyebutkan bahwa sistem baru ini menyadarkan murid-murid akan kondisi kelasnya. Karena itu, konflik yang tercipta antara murid di film ini perlu dilihat sebagai konsekuensi yang wajar dari sebuah proses berdemokrasi.

Karena itu, pilihan para murid pun beragam dengan alasan yang beragam pula. Pilihan mereka ambil secara sadar dan bebas tanpa kesungkanan. Sebagai misal, salah satu murid mantap menjawab satu calon meski mengetahui ada calon lain di hadapannya. Calon yang tidak dipilih pun dapat lapang dada.

Dengan demikian, Please Vote For Me pun memperlihatkan kebebasan berdemokrasi. Pendapat dapat disampaikan secara publik tanpa tedeng aling-aling. Meskipun begitu, kebebasan ini, dalam beberapa kesempatan, mencederai kompetisi dan karenanya persaingan pun kembali timpang.  

Ketimpangan ini muncul dari bantuan orang tua yang dinilai setara sebagai dorongan moril dan semangat. Penyetaraan itu tentu tidak selamanya benar, sebab kondisi sosial-ekonomi tiap orang tua berbeda. Orang tua Luo Lei yang merupakan polisi mampu memberikan tiket wisata monorail sebagai upaya mereka untuk memenangkan anaknya yang lesu setelah tampil buruk di babak unjuk bakat. Sementara itu, orang tua dari dua calon lain hanya memberikan obrolan dan paling jauh menuliskan skrip dalam debat serta pidato, sesuatu yang juga diberikan asisten kampanye.

Lebih jauh lagi, film ini pun menunjukkan beberapa sisi buruk demokrasi elementer yang umum ditemui yakni politik uang dan nepotisme. Sebagaimana umumnya, uang dan jabatan yang ditawarkan berarti suara. Luo Lei, atas saran orang tuanya, melakukan apa yang kerap dikenal sebagai “serangan fajar”. Seusai pidato, ia membagikan kartu ucapan hari raya, yang sepadan dengan uang dalam realitas politik yang akrab ditemui, dalam amplop sesaat sebelum pemungutan.

Sementara itu, Cheng-cheng menjanjikan posisi komite kelas kepada beberapa orang yang akan memilihnya. Ia pun berusaha mengeliminasi kedua lawan dengan sorakan yang menghina dan memojokkan. Hate speech seperti ini, banyak terjadi juga dalam negara yang mendaulat dirinya sebagai negara demokratis.

Melalui Please Vote for Me, penonton dapat melihat jika tentu demokrasi bisa dipelajari sejak dini. Please Vote for Me menunjukkan bahwa demokrasi merupakan sistem yang bebas dan berkeadilan. Anak-anak mampu menentukan pilihannya dan bertanggung jawab atas hasil yang didapat. Namun tentu saja, ketimpangan dalam demokrasi adalah PR bersama yang harus kita sadari keberadaannya.

Ditulis oleh Pramodana

Artikel terbaru

Tentang Mereka yang Dimarginalisasi di Tanah Sendiri

01

Tentang Mereka yang Dimarginalisasi di Tanah Sendiri

Konon katanya, semua yang berasal dari tanah akan kembali ke tanah. Tanah menjadi permulaan sekaligus akhir dari sebuah siklus kehidupan. Sebuah elemen esensial bagi manusia dan seluruh ekosistem yang meliputinya. Amandemen pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945 menyebutkan bahwa bumi—termasuk tanah, lahan, kebun, hutan—air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh […]

Tentang Mereka yang Dimarginalisasi di Tanah Sendiri
Autisme Bukan Aib

02

Autisme Bukan Aib

Gores-gores tinta hitam dan biru tegas memenuhi kanvas merupa langit malam, di tengah itu semua seekor kucing yang magis seperti terbang dalam luasnya galaksi. Lukisan kucing itu adalah karya Ferdiandra Putra yang disiapkan untuk pameran perdananya. Tidak hanya lukisan, Ferdi juga menyiapkan beberapa topeng dan hasil kriyanya untuk dipamerkan. Melukis menjadi cara Ferdi mengekspresikan imajinasi […]

Autisme Bukan Aib
Mencegah Bencana, Mengingat Kearifan Yang Terabaikan

03

Mencegah Bencana, Mengingat Kearifan Yang Terabaikan

Dalam setiap masyarakat tradisional yang memiliki hubungan erat dengan alam, ada sebuah kearifan lokal. Kearifan lokal atau pengetahuan lokal menubuh dalam cerita, peribahasa, nasihat, agama, seni dan juga arsitektur. Sehingga generasi yang baru akan dapat memahami pengetahuan tentang ruang hidupnya dan terus bertahan dari goncangan zaman. Seperti dalam film Suku Sasak Menjaga Kearifan Lokal (2019) […]

Mencegah Bencana, Mengingat Kearifan Yang Terabaikan
Menghayati Relasi Manusia dan Alam yang Lebih Adil Melalui Semesta

04

Menghayati Relasi Manusia dan Alam yang Lebih Adil Melalui Semesta

Banyak kerusakan terjadi di bumi ini diakibatkan oleh manusia modern. Manusia modern dengan egosentrismenya, menganggap jika alam hanyalah instrumen belaka. Kehadiran alam dilihat sebatas sumber kebutuhan dan oleh karenanya bebas dieksploitasi. Eksploitasi habis-habisan yang dilakukan oleh manusia modern menghadirkan ketidakseimbangan di bumi dan menyebabkan krisis ekologis yang makin hari makin dalam. Eksploitasi sumber daya alam […]

Menghayati Relasi Manusia dan Alam yang Lebih Adil Melalui Semesta
Lihat Semua

Berhasil disalin!