Tahun 2010, untuk pertama kalinya Piala Dunia diselenggarakan di benua Afrika, tepatnya di Afrika Selatan. Penduduk tua-muda, laki-perempuan mengadakan nonton bareng. Gol dari tim negaranya membuat mereka melompat riang, berpelukan dan meniupkan vuvuzelas dengan gaduh. Liga empat tahunan ini dirayakan berbagai lapisan masyarakat, termasuk oleh keluarga Mtsweni yang tinggal di Mamelodi, satu jam dari Johannesburg.
Meanwhile in Mamelodi (Benjamin Kahlmeyer, 2011) merekam aktivitas sehari-hari keluarga Mtsweni di tengah demam Piala Dunia 2010. Moskito, putri sulung Mtsweni yang sedang beranjak remaja adalah penggila sepak bola. Stefaans Mtsweni, sang ayah, bekerja sebagai penjaga warung. Stefaans digambarkan sebagai sosok suportif, hangat dan berpikiran maju, yang mendambakan hidup lebih baik bagi anak-anak serta keponakan-keponakannya.
Piala Dunia menjadi momentum istimewa sekaligus absurd, yang mungkin oleh penduduk Afrika Selatan sendiri tidak pernah terbayangkan akan berlangsung di negara mereka. Sebab tepat 20 tahun sebelumnya, Nelson Mandela, seorang tokoh anti-apartheid, akhirnya dibebaskan setelah 27 tahun mendekam dalam tahanan. Selama puluhan tahun warga kulit hitam hidup di bawah represi dan diskriminasi sejak sistem politik apartheid diberlakukan mulai 1948. Jutaan warga kulit hitam dan berwarna dipindah paksa dari tempat tinggal mereka. Mamelodi merupakan area segregasi yang dibangun oleh pemerintahan apartheid untuk merelokasi warga kulit hitam.
Sistem politik apartheid telah tumbang lebih dari satu dekade sebelum film ini diproduksi. Namun dampaknya tidak lebur begitu saja. Meanwhile in Mamelodi memperlihatkan bagaimana kemiskinan membayangi keluarga Mtsweni dan warga di Extension 11. Area pemukiman berisikan gubuk-gubuk berdesakan yang dibangun dengan material seadanya: triplek, seng, potongan kayu dan besi, diapit jalan tanah yang gersang. Bahkan keluarga Mtsweni masih mengandalkan kayu dan arang untuk memasak. Situasi paralel yang begitu kontras dengan mewahnya gelaran Piala Dunia. Lebih ironis lagi, sebagai warga lokal Stefaans Mtsweni tak serta merta dapat meraup keuntungan dari gelaran Piala Dunia. Lapak dekat stadion pertandingan diprioritaskan untuk perusahaan besar. Diskriminasi dan kesenjangan sosial-ekonomi untuk warga kulit hitam tetaplah langgeng.
Hidup yang keras membuat anak-anak dewasa sebelum waktunya. Moskito, gadis remaja yang bergabung dengan tim sepak bola sekolahnya ini, tak dapat menyembunyikan antusiasnya saat sekolahnya memberikan satu tiket gratis untuk menonton langsung pertandingan Piala Dunia di stadion. Sebagai bidang olahraga dengan citra maskulin, sepak bola dianggap bukan olahraga untuk perempuan. Kecintaan Moskito pada sepak bola justru membuatnya dipandang remeh. Ia disarankan mencari hobi lain yang lebih pantas untuk perempuan, seperti netball atau menyanyi. Moskito bahkan dianggap lesbian, sebab mau tak mau ketika bermain bola ia mengadopsi gaya bermain laki-laki agar kemampuannya diakui.
Meskipun pada akhirnya Moskito didukung penuh oleh ayahnya, respon-respon seksis yang ia dapat membuat Moskito tumbuh menjadi remaja kritis. Makin hari ia semakin menyadari ketimpangan gender di sekitarnya. Ia mengkritisi stereotip bahwa perempuan harus berakhir di dapur dan dilarang bekerja. Sebagai remaja yang mulai kenal asmara, Moskito dan kawannya, Nonhlanhla, justru khawatir jatuh cinta akan membuat mereka harus menikah dan memiliki anak di usia dini. Kekhawatiran putri sulungnya dibenarkan oleh ibu Moskito. Sepanjang film ibu Moskito dibingkai sebagai karakter yang tidak banyak bicara. Namun dalam sebuah wawancara ia mengamini bahwa ketika perempuan bergantung pada laki-laki lalu menikah muda dan punya anak, itu adalah awal dari penderitaan. Ia tak mau anaknya menderita.
Dilema dan pertanyaan-pertanyaan Moskito tentu bukan hal asing bagi orang Indonesia. Masalah pernikahan dini masih menjadi berita yang kerap lalu lalang di media, di televisi, bahkan diangkat sebagai cerita film. Pernikahan dini seringkali dianggap solusi untuk keluar dari jebakan kemiskinan. Tak hanya pernikahan dini, kesenjangan sosial-ekonomi meninggalkan dampak yang tak kasatmata, seperti depresi. Dalam sebuah narasi Moskito bercerita bahwa ibunya mulai sakit sejak mereka harus meninggalkan sebuah rumah yang layak dengan 5 kamar di Dennilton, untuk pindah ke rumah gubuk di Mamelodi. Meanwhile in Mamelodi membingkai bagaimana apartheid—yang meskipun secara de jure telah berakhir—menyisakan penderitaan berkepanjangan, bahkan dampaknya harus dialami oleh generasi-generasi berikutnya. Konteks perhelatan Piala Dunia yang megah semakin menguatkan ironi yang berlangsung di Afrika Selatan pasca apartheid. Perhelatan internasional di suatu tempat tak serta merta mengubah nasib masyarakatnya. Di sisi lain, film ini menawarkan optimisme bahwa Afrika Selatan mempunyai masa depan cerah dengan keberadaan sosok optimis seperti Stefaans, serta anak muda kritis dan visioner seperti Moskito.