Maraknya pecandu narkoba di kalangan pelajar seperti bukan berita baru bagi masyarakat Indonesia. Secara periodik kita membaca, menonton, atau mendengar berita tentang pelajar dan mahasiswa yang ditangkap karena mengonsumsi atau mengedarkan narkoba. Menurut data Badan Narkotika Nasional (BNN), penggunaan narkoba di kalangan pelajar di tahun 2018 (ketika film ini dibuat) mencapai angka 2,29 juta orang dan tersebar di dari 13 ibukota provinsi di Indonesia. Data tersebut merupakan angka kasus tertinggi dalam 10 tahun (2009-2018). Tirto, sebuah media daring Indonesia mengutip hasil penelitian Badan Narkotika Nasional (BNN) bersama perguruan tinggi pada tahun 2016, menyebutkan bahwa 27,32% pengguna narkoba di Indonesia adalah mahasiswa dan pelajar. Dessy Manggaprouw adalah salah satu mantan pecandu yang mengenal narkoba sejak bangku SMP. Dalam Sa Pu Jalan Pulang (2018), sebuah dokumenter pendek yang ia sutradarai bersama garapan Stef Abraw menceritakan bagaimana perjalanan hidup Dessy mulai dari menjadi pecandu hingga kini menjadi pendamping mantan pecandu narkoba.
Perjalanan coba-coba Dessy dimulai saat masih duduk di bangku kelas 4 SD ketika ia diam-diam mencuri puntung rokok bapaknya. Beranjak SMP, ia mencoba minuman keras hingga mabuk dan mulai mengonsumsi narkoba hingga ketagihan yang membuatnya berkali-kali nekat mencuri tabungan orangtuanya, pasangan suami-istri buruh bangunan dan penjual pinang. Dessy remaja adalah anak yang selalu melawan orangtua. Puncaknya, ia pun diusir dari rumah karena orangtuanya tidak mampu lagi mengaturnya. Sekian tahun kemudian, pada 2018 saat film ini diproduksi, Dessy telah menjadi orang yang sama sekali berbeda. Ia kini bergabung dengan sebuah yayasan yang mendampingi para pecandu narkoba yang tengah menjalani rehabilitasi dan ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS).
Secara visual Sa Pu Jalan Pulang menceritakan bagaimana Dessy memulai aktivitasnya di waktu sekarang, sejak pagi hingga malam. Ia menempuh perjalanan panjang dengan naik angkot dan berjalan kaki untuk bertemu dengan para pecandu dan ODHA yang ia dampingi. Mereka yang tak sempat dikunjungi, ia hubungi melalui telepon. Selain menanyakan kabar, Dessy juga memastikan mereka tidak lupa mengonsumsi obat-obatan yang diberikan. Kegiatan ini ia lakukan sepanjang hari. Setelah sampai di rumah pada malam hari, ia menghabiskan waktu dengan kedua anaknya.
Berbeda dengan rangkaian visual yang membingkai karakter Dessy yang penuh semangat, hangat, dan bersahabat, secara kontradiktif Sa Pu Jalan Pulang menyisipkan audio yang memuat narasi-narasi berisikan penyesalan Dessy tentang masa lalunya ketika masih remaja. Tak hanya tentang penyesalannya karena melawan dan mengecewakan kedua orangtua, namun juga bagaimana ia sempat merasa tak punya masa depan karena narkoba turut membuatnya putus sekolah. Hingga akhirnya seorang kakak laki-laki mengajak Dessy bergabung dengan sebuah yayasan dan memulai rehabilitasi. Jalinan visual dan audio dengan suasana yang bertolak belakang ini memperlihatkan pada penonton bahwa Dessy hari ini sempat melalui masa kelam akibat menjadi pecandu narkoba. Namun ia tidak membiarkan narkoba membuat hidupnya berhenti.
Dalam sebuah narasi Dessy menyebutkan bahwa tak peduli seberapa besarpun penyesalannya hari ini, ia tak mungkin bisa mengubah masa lalunya. Memutuskan untuk menjadi pendamping mantan pecandu narkoba dan ODHA bagi Dessy seperti memberikan kesempatan baru tidak hanya bagi rekan-rekan yang ia dampingi, tapi juga bagi dirinya sendiri. Dessy mungkin tidak bisa kembali ke masa lalu dan memperbaiki semuanya, tapi ia ingin menjadi bagian dari perubahan orang-orang yang masih punya kesempatan untuk pulih dan mengubah nasib mereka. Sa Pu Jalan Pulang tidak hanya berhenti sebagai cerita personal Dessy. Film ini juga memperlihatkan bahwa penyembuhan dan perubahan yang berasal dari motivasi personal memerlukan solidaritas, upaya bersama, serta support system yang kuat.Siapapun yang merasa hidupnya hampir berakhir karena narkoba, ia masih punya kesempatan kedua, ketiga dan seterusnya.