Air adalah kehidupan. Peradaban-peradaban kuno yang terletak di bantaran sungai selalu menjadi peradaban-peradaban terkaya. Mitos-mitos asal mula kehidupan erat dengan simbol-simbol seperti laut dan sungai. Faktanya, manusia bisa menahan lapar berhari-hari, tetapi tiga hari tanpa air bisa mengantar kita ke ambang kematian.
Di Desa Lakardowo, air melimpah. Hanya saja, air yang melimpah ini tidak bisa dimanfaatkan warga. PT. PRIA (Putra Restu Ibu Abadi) hadir di Lakardowo pada tahun 2010 sebagai pabrik kertas dan batako tanpa keterangan soal pengolahan limbah. Warga yang tidak tahu diam saja melihat aktivitas PT. PRIA di tahun-tahun awal, yang ternyata ilegal dan membahayakan. Belum genap 10 tahun, warga Lakardowo mulai merasakan perubahan di bumi mereka.
Berbagai dampak dialami warga Lakardowo. Penyakit kulit menjangkit warga tua muda. Tanaman di sawah dan kebun tidak bisa tumbuh, sementara nasib binatang ternak juga tidak jelas karena anekdot ikan peliharaan yang mati setelah dilepas di air Lakardowo sungguh meresahkan. Jika dampak nyata yang dirasakan warga dianggap belum cukup, TDS (Total Dissolved Solid) air Lakardowo ada di atas angka 1000. Normalnya, TDS air yang baik digunakan/dikonsumsi tidak melebihi 500.
UU Nomor 32 Tahun 2009 Republik Indonesia mengatur perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Di dalamnya jelas disebut, lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi warga—yang juga ditegaskan dalam Pasal 28 H UUD 1945. Pasal 3 UU ini juga menjelaskan janji-janji pemerintah soal perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yang di antaranya: (i) “menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia”; (ii) “menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup”; (iii) “menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan”.
Bisa dilihat jelas dari UU, hak warga Lakardowo serta kewajiban pemerintah. Ketika seorang warga dengan separuh bergurau berkata: mosok wong kene dadi gak payu rabi kabeh (Apa ada yang mau menikah dengan orang Lakardowo?), implikasinya nyata. Tidak hanya kondisi masa kini Lakardowo yang terancam akibat kondisi lingkungan. Warga Lakardowo resah. Mereka ingin PT. PRIA ditutup.


Bermacam usaha penyampaian aspirasi pun warga lakukan. Mulai dari pemanfaatan medium poster dan baliho yang dipasang di berbagai titik di Lakardowo, penggalangan dana ke sesama warga untuk meneruskan usaha, audiensi-audiensi, hingga aksi demo. Ditemani Ecoton, organisasi kelestarian lingkungan, audiensi mereka lakukan mulai dari kelurahan, BLH, Dinas Kesehatan, KLHK, DPRD Jawa Timur, Gubernur Jawa Timur, hingga DPR pusat.
Ada kesamaan respon yang warga dapat dari sebagian besar instansi, jawaban mengikut pola “ini bukan kewenangan kami”. Satu klaim juga muncul di beberapa momen audiensi: bencana Lakardowo tidak ada kaitannya dengan aktivitas pengolahan limbah PT. PRIA. Di poin pertama, sifat normatif dari birokrasi terasa nyata. Sementara di poin kedua, klaim dimunculkan tanpa bukti yang bisa diakses warga, sementara metode riset yang menghasilkan klaim pun patut dipertanyakan.
Dalam menyampaikan aspirasinya, warga dilindungi undang-undang (No. 12 Tahun 2011). Apa pun bentuk penyampaiannya (termasuk demo) sah dilakukan. Beberapa instansi mungkin tidak memiliki wewenang langsung merespon aspirasi warga yang ingin PT. PRIA ditutup. Tapi jawaban normatif juga kontra produktif karena warga butuh solusi yang berlanjut tindakan. Persoalan aspirasi yang dibahas dalam undang-undang juga menekankan unsur partisipatif. Di mana letak partisipasi, jika akses terhadap bukti riset yang dilakukan oleh instansi pemerintah—dengan segudang kewajibannya terhadap warga—pun warga tidak punya?
Ketika pada akhirnya warga berhadapan langsung dengan PT. PRIA dengan ditemani Komisi VII DPR RI (pasca audiensi), PT. PRIA berkelit. Respon mereka terlatih. Mereka menolak semua tuduhan. Ketika dikonfrontasi tentang aksi menimbun/membuang limbah sebelum memiliki izin resmi, PT. PRIA berlindung di balik kedok ‘riset’.
Kembali ke UU Nomor 32 Tahun 2009, ada yang disebut dengan amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Semua usaha dan/atau kegiatan yang bisa berdampak terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal, seperti halnya juga ia wajib memiliki izin lingkungan (Pasal 36, ayat 1). PT. PRIA tidak memiliki izin dalam kegiatan awal mereka membuang/menimbun limbah di Lakardowo. Dari fakta ini––jangankan izin––kewajiban amdal PT. PRIA mungkin juga tidak terpenuhi. Alasan staf PT bahwa kegiatan awal mereka adalah bagian dari riset sungguh tidak masuk akal. Riset pra usaha dan/atau kegiatan seharusnya dilakukan di proses amdal. Ada Komisi Penilai Amdal (Pasal 30, ayat 1) yang mengawasi, di mana salah satu elemen anggotanya adalah perwakilan masyarakat yang berpotensi terkena dampak.

Pada akhirnya, penonton tidak tahu nasib warga Lakardowo. Semua fakta bisa jadi telah dipaparkan, tapi semua berujung mengambang. Bahwa disebutkan warga Lakardowo masih berjuang mencari keadilan tidak memberi konsolasi apapun. Hanya kemungkinan menyedihkan bahwa mereka cuma bisa berusaha. Entah apa hasilnya, dan entah sampai kapan.