Kisah perantauan Agustina Helena Kobogauw dari Papua ke Jakarta adalah kisah yang pahit. 2014 ketika Helena pertama kali duduk di kursi angkutan kota (angkot), penumpang lain memberinya tatapan “aneh”, ada juga yang menutup hidung seakan orang Papua itu “bau”. Dan yang paling menyakitkan bagi Helena adalah melihat bagaimana budaya dan tradisi Papua yang ia hayati semangatnya dan kesakralannya ditampilkan di Jakarta dengan cara yang banal.
Film dokumenter pendek Mamapolitan (2018) karya Indra Porhas Siagian, mengajak kita melihat kehidupan Helena yang terus mempertahankan identitasnya sebagai orang Papua, di tengah hiruk pikuk metropolitan. Helena adalah perempuan Papua yang lahir dari dua suku yang berbeda, yaitu Suku Wolani dan suku Moni. Dalam kesehariannya di Jakarta, Helena menggunakan pakaian adat dan membawa noken untuk mempertahankan identitasnya menghayati adat juga tradisi. Oleh karenanya, ketika Helena menyaksikan parade Tifa dan baju adat Papua dipamerkan Helena merasa tidak nyaman.
Perasaan tidak nyaman Helena itu bukan tanpa alasan. Tifa pada dasarnya adalah upacara yang sakral dan tidak bisa dipakai di sembarang waktu dan juga tempat. Parade-parade adat seperti yang disaksikan oleh Helena kerapkali berdalih sebagai bentuk pengakuan dan apresiasi. Memang, pengakuan berupa dikenalnya pakaian adat Papua hingga sampai ke tahap banyak digunakan oleh berbagai pihak luar selama ini dianggap sebagai bentuk apresiasi. Namun faktanya, pada beberapa kondisi tertentu, hal tersebut memiliki potensi untuk memunculkan permasalahan apropriasi budaya.
Menurut kamus bahasa Cambridge, apropriasi budaya secara luas didefinisikan sebagai perbuatan mengambil atau menggunakan sesuatu dari sebuah budaya yang bukan milik sendiri, terutama tanpa menunjukkan bahwa pelakunya memahami atau menghargai budaya tersebut. Adapun berbagai jenis budaya yang dimaksud dalam konteks ini misalnya, upacara adat, pakaian, gaya rambut, kebiasaan, ideologi, dan gaya musik.
Apropriasi berbeda dengan apresiasi. Apropriasi identik dengan konotasi negatif bahkan dikenal sebagai perampasan, karena biasanya budaya yang sering diambil berasal dari budaya kelompok yang kerap terdiskriminasi, minoritas, atau yang secara umum eksistensi serta suaranya kurang diperlihatkan dan didengar. Apropriasi bisa jadi sangat berbahaya apabila objek budaya yang digunakan tanpa izin sangat sensitif, misalnya benda suci yang dikeramatkan atau dihormati berdasarkan kepercayaan masyarakat tertentu. Dalam film Mamapolitan kita melihat Tifa dan pakaian adat Papua sebagai contoh nyata apropriasi. Tidak hanya dalam karnaval jalanan, apropriasi budaya di Indonesia sudah sering terjadi, mulai dari acara besar negara seperti PON ke XX beberapa waktu lalu, sampai ke gaya rambut Agnez Mo yang meniru gaya rambut Papua.
Walau konteksnya sama-sama sebatas digunakan dan bukan diakui, namun apropriasi berbeda dengan apresiasi. Apresiasi budaya menjurus pada kegiatan penggunaan unsur budaya bangsa atau negara lain yang dilakukan dengan izin, atau minimal dengan sepengetahuan atas mayoritas pihak pemilik budaya. Selain itu, apresiasi juga biasanya memiliki tujuan untuk mempromosikan suatu budaya dengan keinginan untuk memperluas wawasan, dan lebih menghargai masyarakat dari bangsa atau negara lain secara lintas budaya. Kata kuncinya, keinginan untuk memahami.
Pentingnya menghargai suatu budaya terlebih dalam aspek asal-usul dan nilai yang dimiliki adalah hal penting untuk memposisikan diri dalam keberagaman budaya yang ada. Kita harus paham bagaimana pakaian adat, tradisi dan juga nenek moyang adalah sesuatu yang sangat berarti bagi masyarakat Papua. Dalam Mamapolitan kita melihat bagaimana Helena terus mempertahankan tradisi dan terus memegang prinsip dalam hidupnya: Wutili Motopa Mina yang artinya nenek moyang sumber pemberi hidup. Ini adalah bukti jika hal-hal yang menyangkut adat, identitas dan kesukuan bukanlah hal yang sepele.
Pemahaman akan perbedaan apresiasi dan apropriasi budaya menjadi sangat penting, agar kedepannya berbagai pihak termasuk diri kita sendiri tidak menjadi salah satu pelaku dari tindak apropriasi budaya. Masyarakat Papua tidak butuh apropriasi, mereka butuh solidaritas. Ketika Helena dan kawan-kawannya dari Papua menyuarakan bagaimana penindasan di Papua terjadi, kemana orang-orang yang menggunakan pakaian adat tadi? Inilah yang berbahaya dari apropriasi budaya. Ia tidak hanya mengabaikan perjuangan orang Papua selama ini, tapi juga mengaburkannya lewat pengakuan-pengakuan semu.Film Mamapolitan, melalui hal-hal yang dilihat dan dialami oleh Helena menunjukan jika keberagaman dan sikap saling menghargai harus diiringi dengan pemahaman utuh yang sepenuh hati. Sekedar pengakuan saja tidaklah berarti apa-apa. Keberagaman harus dijalankan dalam sikap sopan, santun, saling menghormati, menghargai, dan terbuka pada perbedaan pendapat satu sama lain. Apalagi jika kita berbicara tentang Papua yang penuh dengan luka penindasan.