Jika kita melihat film-film yang cukup populer mengenai hiu, film-film itu umumnya memiliki premis bahwa hiu adalah hewan buas yang siap melahap manusia jika kebetulan bertemu di lautan. Sebut saja trilogi Deep Blue Sea (1999, 2018, 2020), mengenai keteledoran hingga adu kepentingan ekonomi ketika melakukan penelitian mengenai hiu yang berujung petaka, Open Water (2003) mengenai sepasang kekasih yang ketinggalan kapal sehingga terjebak di lautan lepas yang dipenuhi hiu, The Meg (2018) mengenai hiu purba ukuran raksasa (Megalodon) yang ternyata masih hidup di lautan dalam dan bisa kapan saja naik ke permukaan untuk memangsa manusia, sampai yang terbaru Great White (2022) mengenai lima orang yang coba menyelamatkan diri dari seekor hiu dengan menggunakan rakit bambu. Dengan adegan sadis yang dipenuhi darah muncrat kemana-mana, citra hiu sebagai hewan penebar ancaman kiat kuat tertancap di kepala penonton.
Hanya saja, banyak film mengenai hiu adalah kisah fiksi, meski beberapa di antaranya diadaptasi dari kisah nyata dan tentunya sudah mengalami banyak dramatisasi. Pun demikian, film yang diangkat dari kisah nyata itu tidak bisa digeneralisasi untuk membenarkan hiu sebagai ancaman sepenuhnya bagi manusia. Hiu, layaknya hewan-hewan lainnya, adalah hewan yang menempati posisi dan punya peran tertentu di dalam ekosistem. Film dokumenter pendek Menyelam bersama Hiu dalam Perspektif Konservasi (2019) karya Malvin Adinoegroho, coba memantik kita untuk bertanya kembali dan melihat fakta-fakta lain mengenai hiu: apakah hiu benar memakan manusia? Dan bagaimana peran, posisi, serta dampak dari spesies satu ini bagi ekosistem laut, serta potensinya untuk perkembangan pariwisata?
Dalam Menyelam bersama Hiu dalam Perspektif Konservasi, kita akan berkenalan dengan Darmawan Achmad Mukharror yang akrab disapa Gharonk, seorang peneliti hiu dan pendiri Shark Dive Indonesia (SDI). Sebelum mendirikan SDI di Morotai, Maluku Utara, Gharonk awalnya hanya ingin membuka dive centre biasa agar mudah melakukan diving di sana. Lama-lama, Gharonk melihat ada kemungkinan lain dari hiu, selain merupakan hewan buas yang tidak bisa dijinakkan dalam waktu dekat. Ia lantas mengubah orientasi kegiatannya dari yang awalnya hanya sekedar menyelam untuk kebutuhan pariwisata, menjadi penelitian untuk kebutuhan pariwisata dan konservasi.
Hiu sendiri punya peran penting dalam menjaga keberlangsungan ekosistem laut. Sebagai predator puncak dalam rantai makanan, keberadaan hiu akan menjamin keseimbangan populasi di laut, dan karenanya keragaman spesies di laut akan terjaga. Hiu juga berperan merawat kesehatan spesies lain di laut dengan cara memangsa ikan-ikan yang sakit. Bahkan hiu juga turut andil dalam mengurangi emisi karbon dengan cara memangsa ikan dugong pemakan rumput laut. Jika populasi hiu berkurang, maka populasi dugong bertambah sehingga populasi rumput laut yang bertanggung jawab dalam menyerap 10 persen karbon dioksida di lautan pun ikut berkurang.
Ketiadaan ahli hiu dan sedikitnya produksi pengetahuan mengenai hiu di Indonesia juga menjadi motif Gharonk mendirikan SDI dan melakukan penelitian mengenai hiu. Gharonk hanya menemukan segelintir ahli hiu di Indonesia, itu pun ahli mengenai hiu yang sudah ditangkap ke darat, bukan ahli mengenai hiu yang hidup bebas di laut. Penelitian Gharonk coba mengungkap perubahan perilaku hiu di habitatnya dalam interaksinya dengan manusia. Hal ini nantinya tidak hanya memberikan kita pengetahuan baru mengenai hiu, tapi juga dapat turut membantu mengembangkan pariwisata laut.
Dari sisi pariwisata hiu potensial menghasilkan uang dalam jumlah besar. Industri pariwisata Australia yang melibatkan empat jenis hiu dapat menghasilkan 25,5 juta dolar per tahun. Sementara di Maladewa, pengembangan pariwisata berbasis hiu paus memberikan nilai ekonomi tahunan sekitar Rp130 miliar. Gharonk melihat potensi ini juga dimiliki Indonesia sebagai tempat dari banyak spesies hiu, dan ia memilih memulainya dari Morotai sebagai salah satu lokasi tempat banyak spesies hiu hidup. Setelah kehadiran SDI di Morotai, aktivitas diving di sana mengalami peningkatan dari 400 jadi 1000 orang per tahun.
Sepanjang film dokumenter ini, kita disajikan footage-footage keindahan laut Morotai dan aktivitas yang dilakukan SDI di dalamnya. Mulai dari lalu-lalang ribuan ikan berenang, keindahan terumbu karang, hingga bagaimana Gharonk dan kawan-kawannya berenang mempelajari hiu tanpa sedikitpun mendapatkan ancaman. Tiada bukti pasti yang menunjukkan hiu secara aktif memburu manusia. Penelitian mutakhir justru menunjukkan hiu memangsa manusia disebabkan oleh meningkatnya populasi manusia di sepanjang garis pantai, perubahan kualitas air akibat pencemaran yang dilakukan manusia sehingga menyebabkan pergeseran lokasi mangsa hiu dan membuat hiu ikut berkumpul dalam jumlah besar. Lagi-lagi manusia mengambil peran besar dalam mengganggu ekosistem. Manusia memang perlu lebih hati-hati lagi dalam memperlakukan spesies lain di luar dirinya. Sebab, seperti yang ditunjukkan oleh Menyelam bersama Hiu dalam Perspektif Konservasi, manusia dan spesies lain harus hidup berdampingan agar keseimbangan ekosistem dapat terus terjaga.