“Bertani sudah aku anggap sekolah, dan alam raya (adalah) sekolahku,” ungkap Bagus, petani muda yang tinggal di kawasan subur Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah. Bagus yang menganggap alam telah memberi dan mengajarinya banyak hal tentang hidup, mulai khawatir dengan kelestarian alam dan masa depan anak cucunya. Kegelisahan Bagus ini menjadi titik berangkat film dokumenter Ibu Bumi (2020) yang disutradarai Chairun Nissa. Film ini mengajak kita melihat bagaimana Bagus dan warga Kendeng mengkhawatirkan dan merespons terganggunya keseimbangan ekosistem wilayah Pegunungan Kendeng akibat pembangunan pabrik semen.
Dalam film Ibu Bumi, Bagus yang berusia 20 tahun menjadi subjek yang menghayati lingkungan sekitarnya. Sejak awal film dimulai, Bagus menceritakan bagaimana pegunungan kapur (karst) Kendeng yang melintasi kabupaten; Rembang, Blora, Pati, hingga Grobogan, banyak memberikan berkah berupa air bersih dan kesuburan untuk kegiatan bertani. Kegiatan bertani bagi keluarga Bagus, sejak lama menjadi sumber penunjang kehidupan mereka. Sandang, pangan, papan keluarga Bagus terpenuhi dengan bertani. Dan ketika rencana penambangan semen datang, Bagus menyadari akan ada ancaman bencana ekologis yang datang.
Bencana ekologis adalah fenomena alam yang terjadi akibat adanya perubahan tatanan ekologi yang mengalami gangguan atas beberapa faktor yang saling mempengaruhi antara manusia, makhluk hidup dan kondisi alam. Dalam film Ibu Bumi, penambangan dan pendirian pabrik semenlah yang menjadi “pihak yang mengganggu” itu. Selain itu, seperti apa yang telah dikatakan oleh Gunretno (ayahnya Bagus yang juga aktivis Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng) kepada Bagus, “jika gunung kendeng dikeruk, sumber-sumber air dikeruk, kita akan kehabisan sumber air dan akan datang bencana”. Hal ini juga berkaitan dengan fungsi alami karst yang dapat menyaring air menjadi bersih.
Ketika ada rencana pembangunan pabrik semen yang memiliki potensi menghadirkan bencana ekologis yang luas. Warga Kendeng tidak tinggal diam, tak terkecuali Bagus dan anak muda Kendeng lainnya. Merespons hal ini, sebagian besar warga Kendeng yang menolak pabrik semen memilih jalan demonstrasi untuk aksi. Sedangkan Bagus dan kawan-kawan menggunakan karya musik untuk beraksi.
Bagus bersama kawannya Ragil dan Falah membentuk kelompok musik bernama Kendeng Squad. Bagus melihat musik sebagai alternatif bentuk perlawanan terhadap industri ekstraktif yang merusak alam. Bentuk perlawanan yang ditawarkan oleh Kendeng Squad hadir dalam gaya musik punk dan lirik anthemic yang ringan dan mudah diingat. Dalam tembang Berani Bertani misalnya, lirik “bertani-bertani untuk kehidupan” yang terus diulang, rasanya mampu membuat siapapun yang mendengarnya bisa ikut merasakan semangat perlawanan yang dimiliki para petani Kendeng. Berani Bertani juga diperkuat oleh eksperimentasi suara non-musik. Membenturkan rekaman suara alam yang asri dengan suara aktivitas pertambangan yang bising seperti ledakan bom. Eksperimen ini membawa pesan tersirat yang Kendeng Squad ingin sebar luaskan: alam kita sedang tidak baik-baik saja.
Selain itu, dalam Ibu Bumi kita melihat Kendeng Squad memikirkan betul bagaimana isu-isu tentang kerusakan alam dan semangat cinta atas kehidupan dapat tersebar secara luas dan dapat berumur panjang. Ketika para personil Kendeng Squad duduk-duduk di sawah, mereka sepakat untuk membuat video klip untuk Berani Bertani.
Ketika para personil Kendeng Squad mengunjungi Gunretno untuk menyampaikan ide pembuatan video klip. Gunretno berpesan agar tetap menjaga nilai “kesikepan”––sebuah kearifan lokal tentang etika keseharian yang sesuai dengan ajaran Samin atau Saminisme. Ada banyak nilai yang diajarkan kearifan lokal Saminisme, terutama perihal kejujuran dan anti-ketidakadilan. Nilai penting lainnya adalah pandangan tentang relasi manusia dengan alam yang telah memberi kehidupan sehingga harus terus dijaga. Disamping itu, sejak zaman kolonial hingga hari ini, Samin lekat dengan sejarah perlawanan terutama melawan kekuasaan dan segala hal yang merusak.
Kendeng Squad menghayati ajaran Samin melalui musik dan lirik-liriknya. Penghayatan ajaran Samin dalam berkarya tidak hanya dilakukan oleh Kendeng Squad. Sastrawan Pramoedya Ananta Toer, juga terpengaruh oleh ajaran Samin. Pramoedya lahir dan tumbuh di Blora yang menjadi tempat dimulainya gerakan Samin, maka nilai-nilai ajaran Samin ikut mempengaruhi Pramodedya. Terlebih, dalam wawancaranya yang dikutip dari buku Pramoedya Menggugat, Melacak Jejak Indonesia (2020) karya Koh Young Hun, Pramoedya pernah mengatakan bahwa ia mempercayai Saminisme. Oleh karena itu, sikap kejujuran dan anti-ketidakadilan menjadi bahan dasar bagi penciptaan novel Pramoedya.
Kendeng Squad memilih berkarya dengan suara nyanyian yang menyiratkan perlawanan dan harapan untuk hidup yang lebih baik. Film Ibu Bumi yang mengikuti keseharian Bagus dan aktivitasnya bersama Kendeng Squad, memperlihatkan semangat anak muda Kendeng untuk ikut terlibat memperjuangkan ruang hidupnya.