Mencari pekerjaan setelah menyelesaikan kuliah tidak pernah gampang. Pada kasus-kasus tertentu, seseorang bisa melamar hingga ratusan pekerjaan dan tidak lolos satu pun. Putri, subjek utama dalam Rumah Siput, mengalami hal itu. Setelah menyelesaikan studinya di Desain Komunikasi Visual, Putri menghabiskan waktu 2 tahun di rentang 2015-2017 untuk melamar kurang lebih 500 pekerjaan. Alasan terbesarnya ditolak bekerja: Putri adalah difabel tuli.
Indonesia memiliki dasar hukum yang (seharusnya) jelas melindungi kawan difabel dari diskriminasi saat mencari pekerjaan. Mulai dari Pasal 27 UUD 1945, Pasal 38 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, dan Pasal 5 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yang membahas hak memperoleh pekerjaan bagi warga negara Indonesia secara umum, hingga Pasal 67 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, Pasal 11, 53, dan 145 Undang-Undang No. 8 tahun 2016 yang khusus bagi penyandang difabel. Dalam setiap dasar hukum tersebut, gamblang disebut bahwa siapa pun berhak memperoleh pekerjaan tanpa perlakuan tidak adil yang dikarenakan kondisi difabel.
Putri bukan satu-satunya yang mengalami sulit mendapatkan pekerjaan. Ada Erwin dan Adhika, yang juga sahabat Putri sedari TK, yang mendapat pengalaman serupa. Suatu hari, ketika Putri, Erwin, dan Adhika bertemu kembali dan mendapati diri mereka masih sama-sama belum mendapat pekerjaan, Putri, Erwin, dan Adhika memutuskan untuk membuka usaha kopi bersama. Mereka menamainya, KOPTUL, kepanjangan dari Kopi Tuli.
Membawa visi, The Taste that Touch Your Heart, KOPTUL dibangun oleh teman-teman difabel tuli, mempekerjakan teman-teman difabel (khususnya tuli), mulai dari pelayan, kasir, dan lain-lain. Putri dkk. juga menerima mereka yang tidak tahu apa-apa atau masih awam soal kopi, ada pelatihan tersendiri untuk mempersiapkan karyawan-karyawan baru ini. Kriteria terpenting bagi Putri adalah komitmen, tanggung jawab, disiplin, kejujuran, niat baik, dan kerja keras.
Di KOPTUL, yang membawa konsep galeri kafe dan rumah belajar, pengunjung bisa mengikuti kelas Bahasa Isyarat dan belajar bersama. Salah satu sesi kelas ini ditampilkan dalam film, dan penonton bisa melihat, ada banyak alasan berbeda yang mendorong orang-orang ini belajar bahasa isyarat. Benang merahnya adalah, mereka ingin bisa berkomunikasi lebih baik dengan teman-teman difabel tuli, yang mana merupakan spirit yang mungkin bisa mulai dipertimbangkan oleh perusahaan-perusahaan yang menolak calon karyawannya hanya karena mereka sedikit berbeda.
Di Rumah Siput, kisah Putri dan kawan-kawannya dibangun dengan runtut. Berangkat dari masa kecil Putri, hubungan Putri dengan kedua sahabatnya, hingga dirintisnya KOPTUL dan perjalanan mereka dari sana. Paruh pertama film yang menceritakan masa kecil Putri diilustrasikan dengan animasi bergaya sketsa yang bersih dan sederhana, ditemani musik upbeat yang membuat beberapa fakta yang sebetulnya sedih terasa apa adanya. Film juga memasukkan elemen-elemen yang inklusif untuk teman-teman difabel, misalnya subtitle, dan voice over yang mengiringi pernyataan para subjek yang rata-ratanya adalah difabel tuli.
Ada satu pertanyaan penting yang diajukan dalam film: Apakah disabilitas di dunia kerja sudah setara? Putri, Erwin, dan Adhika masing-masing memberi jawaban mereka, yang sudah dengan lebih implisit hadir melalui film ini sendiri. Pernyataan ketiga subjek mungkin adalah penegas. Karena perjuangan mereka yang tertangkap layar memang terlihat manis, dan realita ketidakadilan mungkin tersamarkan nada motivasi yang kental. Tentu, pesan “jangan pernah menyerah” baik saja untuk terus disampaikan. Namun, ada masalah serius yang dibawa dalam film, dan tanya jawab bersama ketiga subjek menegaskan hal itu. Terlepas dari segala hukum yang tertulis, fakta di lapangan sangat berbeda. Pekerjaan yang seharusnya menerima pendaftar berdasarkan kualitas yang dicari dari ketersediaan jabatan, malah melihat aspek yang berada di luar kontrol pelamar. Meskipun praktek pembedaan memang kerap terjadi, beberapa bahkan tidak ditujukan ke teman difabel, tetapi pertanyaan adalah sampai kapan kondisi ini dinormalkan?
Di sepanjang film, nada ringan dalam Rumah Siput menjadi salah satu kekuatannya. Cara Putri dan kawan-kawan ditampilkan, serta para karyawan Koptul dan interaksi mereka dengan pengunjung, menunjukkan bahwa perbedaan antara teman-teman difabel tuli dengan non-difabel hanyalah perbedaan antar individu, seperti jika ada orang yang menulis dengan tangan kanan dan ada yang menulis dengan tangan kiri, atau orang yang berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa dan yang menggunakan bahasa Sumatra. Tidak perlu rasa kasihan, Putri, Erwin, Adhika dan teman-teman difabel lainnya adalah individu-individu berdaya.