Seringkali kita mendengar bahwa jalan keluar dari jurang kemiskinan adalah bekerja keras. Jika tetap miskin, artinya kita belum bekerja cukup keras. Pandangan ini terbilang problematik. Sebab ia membayangkan bahwa seluruh lapisan masyarakat memiliki standar hidup, akses, dan jaminan upah yang sama. Nyatanya, banyak masyarakat yang hidup dengan upah rendah, bahkan jauh di bawah Upah Minimum Regional (UMR) atau Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK). Penderes dan Pengidep (2014), film dokumenter garapan Achmad Ulfi dan kawan-kawan Papringan Pictures, SMA Kutasari Purbalingga, menghadirkan cerita dari balik rumah Suwini dan Suwitno, pasangan suami istri asal Purbalingga. Film ini akan menjelaskan mengapa romantisasi terhadap konsep kerja keras sebagai solusi kemiskinan amat bermasalah.
Keluarga ini tinggal di wilayah yang dikelilingi alas, di dalam rumah mungil berdinding anyaman bambu (gedeg), beratap seng dan berlantaikan tanah. Rumah-rumah di sekitarnya pun nampak serupa. Untuk menghidupi ketiga anaknya, Suwitno sehari-hari bekerja sebagai penderes, yaitu memanen air nira untuk kemudian dimasak menjadi gula aren. Tiap pagi Suwitno berjalan memanggul belasan jeriken untuk menampung air kelapa yang ia kumpulkan dengan memanjat pohon-pohon kelapa tanpa pengaman apapun. Pohon-pohon itu adalah milik tetangga yang ia bayar dengan sistem sewa. Sementara Suwini, selain berperan sebagai Ibu Rumah Tangga yang memastikan anak-anaknya makan, tidur, mandi dan berangkat sekolah tepat waktu, tiap malam ia juga merangkai bulu mata palsu ditemani lampu minyak tanah untuk menambah pendapatan rumah tangga. Dalam bahasa setempat, profesi ini disebut pengidep. Meski Suwini, sang istri, juga membantu mencari nafkah, ironisnya penghasilan mereka tetap tak mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Upah harian sebagai penderes dan pengidep dipecah untuk makan sehari-hari, biaya sekolah anak dan membayar cicilan ke tukang kredit.
Purbalingga adalah wilayah yang dikenal dengan pabrik bulu mata palsu. Perusahaan-perusahaan bulu mata mempekerjakan ibu-ibu setempat dan hasilnya diekspor ke luar negeri. Cukup dengan mengetik kata kunci ‘bulu mata Purbalingga’ pada mesin pencari di internet, kita akan menemukan ratusan berita soal prestasi bulu mata ini dipakai artis-artis international. Tak segemerlap pemberitaan, nasib pekerjanya justru terjungkal. Sehelai bulu mata dihargai tak sampai 700 rupiah. Dengan kalkulasi tiap pekerja mengerjakan rata-rata 20 pasang, maka penghasilan tiap orang per bulannya tak sampai setengah dari UMK.
Secara teori kita mengenal kategorisasi kebutuhan: primer, sekunder, dan tersier. Namun dalam masyarakat dengan sistem kekerabatan yang kental, pengelompokan jenis kebutuhan ini menjadi lebur. Sebab kebutuhan untuk memenuhi peran sosial kadang memiliki urgensi yang sama dengan kebutuhan primer. Hal ini dialami rumah tangga Suwitno-Suwini ketika mereka harus memutar otak mencari uang untuk membayar arisan. Fenomena ini tentu tak asing bagi masyarakat Indonesia yang dikenal lebih mengutamakan kepentingan kelompok dibandingkan kepentingan pribadi. Kegagapan dalam mengatur skala prioritas di tengah penghasilan yang terbatas hanya sebuah isu kecil dalam Penderes dan Pengidep. Melalui tangkapan observasionalnya, film ini mengundang penonton untuk mempertanyakan banyak hal. Mengapa kebutuhan mereka tetap tak terpenuhi bahkan ketika suami-istri ini sama-sama bekerja? Berapa penghasilan mereka sebagai tenaga kerja harian?
Pada 2014, tahun yang sama ketika film ini dibuat, UMK Purbalingga Rp 1.023.000 per orang. Jika ada 2 anggota keluarga yang bekerja, maka dapat diasumsikan bahwa penghasilan idealnya adalah 2 kali lipat dari UMK. Namun fakta di lapangan tak sesederhana itu. Masyarakat yang berasal dari kelompok ekonomi menengah ke bawah seringkali tak mampu memiliki penghasilan yang cukup, terutama mereka yang bekerja serabutan dan bergantung pada upah harian, atau yang dipekerjakan lepas tanpa kontrak. Film ini boleh jadi hanya menampilkan satu kehidupan keluarga kecil. Namun Suwitno dan Suwini adalah potret dari banyak keluarga lain yang tak mendapat perlindungan kerja dan di waktu bersamaan tidak cukup berdaya untuk mengambil pilihan lain. Sehingga satu-satunya jalan adalah mengerjakan apa yang tersedia dengan sebaik-baiknya, sekalipun hasilnya jauh dari cukup.