Indonesia secara geologis terletak di pertemuan tiga lempeng tektonik besar yang membuat fenomena tsunami sesuatu yang dapat terjadi seolah-olah tanpa peringatan. Para ahli mengenal istilah paleotsunami, yang menurut Oceanographic Commission (2019) didefinisikan sebagai “tsunami yang terjadi sebelum catatan sejarah atau tidak ada pengamatan tertulisnya”, sebuah konsep yang membuka kemungkinan entah berapa banyak tsunami pernah terjadi di Indonesia sejak masa lampau.
Sarah dan Erick adalah dua pemuda pemudi rantau asal Palu. Ketika gempa Palu terjadi pada bulan September, 2018, mereka memiliki reaksi yang serupa. Kaget, bingung, dan tidak apa yang harus dipercayai. Berbagai informasi berseliweran melalui berita-berita dari media non-mainstream maupun sosial media, informasi yang disampikan dari mulut ke mulut, melalui platform messaging secara pribadi maupun percakapan grup. Pulang ke Palu untuk langsung melihat kondisi tidak memungkinkan bagi mereka, sementara mengontak keluarga pun sulit dilakukan, karena koneksi dari/ke Palu yang terputus. Pada akhirnya, yang dapat mereka lakukan adalah menunggu kabar dan terus mencari informasi dari sumber yang lebih bisa dipercaya.
Di satu sisi ada Sarah dan Erick, yang meski tidak menghadapi bencana secara langsung, tetapi dihantui kecemasan atas nasib keluarga dan kerabat mereka. Di sisi lain, ada keluarga Sarah dan Erick, penduduk Palu, yang mengalami bencana secara langsung, dan tentu berada di tengah segala kerusakan yang datang bersama bencana. Begitu tidak terduga, dan tidak terelakkan, Sarah dan Erick merasa pentingnya pengetahuan dan pemahaman atas mitigasi bencana. Mereka mungkin bercermin pada diri mereka sendiri, yang meski adalah penduduk Palu dengan segala risiko bencananya, tidak pernah tahu, apalagi paham, tentang mitigasi bencana. Mereka, terutama Sarah, ingin membuatnya menjadi film dokumenter.
Mereka mengawali usaha mereka dengan berkunjung ke Anyer, yang juga dilanda tsunami pada Desember 2018. Sarah dan Erick mendatangi lokasi-lokasi bekas bencana. Puing bangunan separuh berdiri, dengan barang-barang yang masih tertinggal di dalamnya, secara tidak langsung bercerita tentang kehidupan para manusia yang dulu pernah menempati ruang-ruangnya. Masih banyak hunian di sekitar lokasi-lokasi ini, bahwa area tersebut pernah diterjang tsunami tidak menghalangi mereka untuk tetap bermukim di sana. Ini sedikit mengilustrasikan, dengan alam di sekitar kita, bencana alam adalah bagian dari kehidupan, yang sedikit banyak tidak dapat dihindari. Juga mengingat kawasan Indonesia yang berada di lempeng tektonik, berpindah tempat bukan solusi jangka panjang. Lagi-lagi, kita dibawa ke pentingnya tindak mitigasi.
Film dokumenter Pulang dan Berulang (2019) adalah rekam perjalanan Sarah dan Erick di Anyer. Penonton tidak banyak diajak tahu hasil riset mereka tentang mitigasi bencana di sana, yang tertangkap kamera adalah kontemplasi Sarah dan Erick, percakapan mereka sebagai individu-individu yang tidak sepenuhnya terpisah dari peristiwa Palu, tetapi berjarak. Korelasi dibangun antara Anyer dan Palu, cuplikan video bencana Palu yang mengawali film disandingkan dengan puing-puing Anyer yang menjembatani imaji ke pemandangan yang mungkin serupa di Palu.
Apa yang mereka temukan di Anyer? Percakapan macam apa, jika ada, yang terjadi dengan saksi mata/penyintas bencana Anyer? Apakah mereka menemukan jawaban atas mitigasi bencana di sana? Jika iya, bagaimana mitigasi bencana seharusnya dilakukan?
Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin muncul ketika menonton Pulang dan Berulang, dan tidak mendapat jawaban. Mungkin bagi Sarah dan Erick, film ini adalah ucapan solidaritas. Gerak-gerik mereka lebih mirip pelancong di Anyer, semakin menggambarkan sekat yang lahir dari ketidaktahuan. Yang perlu digarisbawahi, bagaimanapun, adalah keinginan Sarah melakukan sesuatu. Percakapan mereka, meski pendek dan tidak memberi banyak informasi, selalu menitikberatkan ke pentingnya mitigasi bencana, sesuatu yang ingin mereka cari tahu lebih lanjut, mungkin untuk dibuat menjadi film, yang bisa ditonton banyak orang, terutama orang-orang di kawasan rawan bencana.
Kalimat yang keluar dari mulut Erick menutup film semakin menekankan hal ini. Ia bertanya-tanya, ketika mereka duduk menyeruput kelapa muda sambil memandang matahari terbenam di tepi pantai, apa yang akan terjadi pada mereka jika tiba-tiba tsunami datang? Padahal mereka sedang “enak duduk-duduk jalan-jalan”. Jawabannya tentu menggantung di depan mata.
Bencana bisa datang kapan saja, di saat-saat tidak terduga. Mungkin ada tanda-tanda yang dapat dibaca sebelum bencana. Hal-hal yang dapat dilakukan selama dan setelah bencana. Dengan pengetahuan tersebut, jumlah korban mungkin dapat ditekan, kerusakan dapat segera ditangani (meski jelas tetap berkala), dan bantuan sigap didatangkan. Mitigasi bencana bukan tanggung jawab satu orang. Diperlukan gerak bersama, yang hanya mungkin jika pengetahuan diresapi merata dari level masyarakat hingga pemerintah. Sarah dan Erick menginginkan hal ini, dan Pulang dan Berulang menyiratkan pertanyaan besar, apa mereka masih bisa pulang, jika bencana terus berulang tanpa respon tepat?