Konon katanya, semua yang berasal dari tanah akan kembali ke tanah. Tanah menjadi permulaan sekaligus akhir dari sebuah siklus kehidupan. Sebuah elemen esensial bagi manusia dan seluruh ekosistem yang meliputinya. Amandemen pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945 menyebutkan bahwa bumi—termasuk tanah, lahan, kebun, hutan—air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. Sejauh mana frase “dikuasai negara” dapat ditafsirkan? Apakah negara lantas berhak semena-mena terhadap warga yang tinggal di dalamnya? Sering kita dengar pelanggaran hak rakyat atas penggunaan lahan atau tanah yang ditinggali hendak dimanfaatkan (baca: eksploitasi) oleh perusahaan/pemerintah. Pada film Perempuan di Tanahnya (2019) garapan Kristina Soge & Dion Kafudji ini kita diajak menilik kegagalan negara mengelola lahan sawit berikut kelalaiannya dalam menunaikan kewajiban terhadap lingkungan yang terdampak.
Film dokumenter Perempuan di Tanahnya, mengisahkan Amatus Tiam dan Irene Fatagur yang memperjuangkan hak atas tanah leluhurnya dari PT Perkebunan Nusantara II atau PTPN II (Persero). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1996, terjadi peleburan Perusahaan Perseroan PT Perkebunan II dan Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perkebunan IX menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perkebunan Nusantara II yang mengelola komoditi sawit, karet, tembakau, kakao dan gula. Lalu didirikanlah kantor perusahaan di Workwana, Kecamatan Arso, Kabupaten Keerom, Papua. Namun ternyata pabrik ini memiliki manajemen yang buruk. Semasa pengeksploitasian lahan besar-besaran, mereka tidak berdialog baik dengan masyarakat adat alias pemilik tanah, termasuk pekerja atau petani sawit dan warga sekitar kebun. PTPN II juga mangkir dari penyediaan rumah tinggal, air bersih dan fasilitas penunjang lain.
Krisis ekonomi yang dialami pabrik sejak 1998 tak membuat perusahaan ini bijak dalam pengelolaan usahanya. Gagal panen berkali-kali bikin pabrik makin terpuruk. Puncaknya terjadi saat masyarakat adat melakukan pemasangan palang di lahan sawit yang membuat operasional pabrik lumpuh dan gagal melangsungkan proses produksi. Akibatnya, sebagian besar lahan tidak terurus dan pabrik kian merugi. Produksi minyak sawit berhenti sejak 2016.
Amatus Tiam juga bertutur di film ini tentang betapa berbedanya kehidupan sebelum dan sesudah beridirinya PTPN 2. Hutan yang dulu cukup untuk memenuhi kebutuhan, kini sarat kegiatan ekstraktif dan komersil hanya demi mengisi perut. Ironinya, justru orang asing yang mempropagandakan “Hutan saja mana cukup buat makan?”. Modernitas datang dan masyarakat adat dinilai terbelakang dan tidak maju. Padahal masyarakat adat belum tentu membutuhkan modernitas itu, mereka sejak lama memiliki budaya dan cara hidup mereka sendiri. Nahas, perjuangan Amatus Tiam dan Irene Fatagur atas tanah mereka tak mendapat respon lebih dari 10 tahun lamanya bahkan ketika pabrik tersebut telah mati.
Tak hanya merugikan secara materi, kegagalan PTPN II juga menyebabkan kerugian secara moril. Melalui Perempuan di Tanahnya kita diajak membayangkan berapa banyak jiwa yang merasa “tercabut” dari akarnya dan kehilangan jati diri. Jika tumbuhan yang kehilangan akar membuatnya mati kekeringan, lalu bagaimana dengan manusia jika ia bahkan tak diijinkan “mengakar” di tanah kelahirannya sendiri? Padahal hak atas rasa aman adalah kebutuhan dasar setiap warga negara.
Berbicara tentang rugi, dari film Perempuan di Tanahnya kita tahu sebenarnya negaralah pihak yang paling merugi. Terutama karena negara memaksakan implementasi kebijakan yang serampangan. Negara mengorbankan 3 hal sekaligus: anggaran negara, kesejahteraan warga, dan kekayaan alam. Ketiga hal tersebut tandas dengan cepat namun sulit dipulihkan dalam waktu singkat. Terlebih perihal sumber daya alam yang giat digerus di tengah terpaan krisis iklim.
Melalui film ini, kita juga dapat memahami, Bagaimana masyarakat adat papua memiliki keterikatan yang amat dalam dengan hutan. “Land is Mama” semboyannya. Bagi masyarakat adat papua, hutan harus dijaga dan dihormati layaknya ibu sendiri karena di sanalah mereka tinggal dan menggantungkan hidup. Begitu agungnya sosok ibu hingga mendapat perlakuan yang istimewa. Namun sayangnya, di negara yang mayoritas menganut patrilineal ini peran perempuan sering diidentikkan pada tugas domestik saja. Bahkan, di masyarakat Arso sendiri, perempuan tidak memiliki hak atas tanah sekalipun ia merupakan keturunan Fatagur.
Saat semua tanah sudah habis terjual dan tak ada lagi tanah yang tersisa, perempuan mulai angkat bicara. Perempuan di Tanahnya menghadirkan suara perempuan yang mulai didengar karena perempuanlah yang punya rasa untuk merawat dan menumbuhkan, dan kepekaan atas keberlangsungan hidup, dan peduli kepada generasi penerusnya. Selama ini, tugas perempuan hanya terbatas pada urusan anak dan keluarga. Hal ini pula yang menjadi misi Irene Fatagur, sebagai perempuan keturunan Arso, untuk mendapatkan hak atas tanah kelahirannya.