Yang Tersisa Setelah Tambang Tiba

Yang Tersisa Setelah Tambang Tiba

MPR Sementara mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden pada 12 Maret 1967. Tak berselang lama, tepatnya 7 April 1967 Freeport Sulphur of Delaware (selanjutnya disebut Freeport) mendapat izin operasi penambangan di Papua. Sebelumnya, selama di bawah pemerintahan Soekarno tak ada satupun perusahaan asing yang diizinkan untuk berinvestasi. Soeharto bertanggung jawab sebagai pembuka pintu bagi Freeport melakukan Penanaman Modal Asing (PMA) pertama di Indonesia, sekaligus masalah-masalah yang menyertainya hingga hari ini. 

Selama kurang lebih 56 tahun, masyarakat adat dan tanah Papua menerima dampak dari keberadaan Freeport mulai dari puncak gunung hingga muara lautan. Bahkan ketika pemerintah Indonesia mengubah kontrak divestasi saham menjadi 51% milik Indonesia, masyarakat adat tak dilibatkan dalam pengambilan keputusan ini.  Daerah Hilang membingkai salah satu dari sekian banyak wilayah serta masyarakat adat di dalamnya yang mau tak mau harus menanggung limbah tailing (pasir halus) dari Freeport. Bagaimana keberadaan Freeport yang selama ini diglorifikasi akan menguntungkan secara finansial ini, kenyataannya justru menjadi ancaman bagi orang-orang yang telah jauh lebih dulu tinggal di tanah Papua?

Masyarakat yang terdampak atas beroperasinya Freeport di Papua beberapa di antaranya adalah suku Amungme dan suku Kamoro di Mimika. Jalur laut adalah lalu lintas utama masyarakat Mimika Timur. Namun limbah tailing yang dikucurkan Freeport mengakibatkan pendangkalan pada area pesisir laut yang merupakan jalur utama yang menghubungkan kampung-kampung di dalamnya. Limbah yang mengendap di laut tentu tak hanya merusak ekosistem laut, namun juga memberikan dampak yang terwujud dalam perubahan ekstrim dari aktivitas sehari-hari masyarakat. Mulai dari pesisir laut yang tak lagi bisa dilalui perahu yang menyebabkan perahu terbalik dan apapun yang diangkut turut tenggelam, anak-anak yang tak bisa berangkat sekolah karena BBM untuk mesin perahu tumpah, hingga keputusan masyarakat untuk meninggalkan tempat tinggal mereka untuk pindah ke tempat yang lebih layak dan mudah diakses.

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.  Kampung Pasir Hitam yang sejak tahun 1970 merupakan area perkampungan yang berpenghuni dan berfungsi secara sosial, kini ditinggal oleh penduduknya. Adolfina Kuum, LEPEMAWI (Lembaga Peduli Masyarakat Mimika Timur Jauh) mencoba menggambarkan betapa hidupnya wilayah perkampungan ini beberapa tahun lalu. Yang tersisa kini adalah semak belukar yang tumbuh menjulang. Deskripsi Adolfina Kuum yang mengandalkan ingatan semata, kemudian dipertegas dalam film dengan tayangan foto-foto hitam putih di akhir film yang memperlihatkan penduduk setempat beserta aktivitas mereka terdahulu. 

Setiap perusahaan yang beroperasi turut bertanggung jawab pada dampak-dampak yang mereka akibatkan pada masyarakat dan lingkungan sekitar. Dalam wawancara di atas perahu, Adolfina Kuum menyampaikan bahwa Freeport menanami bakau di bagian pesisir laut, dengan asumsi hal tersebut dapat menjadi solusi untuk menahan limbah. Namun upaya itu hanya berhenti sebagai jalan keluar artifisial, sebab eksekusinya tidak mempertimbangkan perspektif masyarakat adat sebagai bagian dari ekosistem. Mengutip Adolfina Kuum, solusi semu macam ini tidak lain adalah imajinasi problematik dari pemerintah pusat dan Freeport sebagai perusahaan asing, yang implementasinya amat berjarak dengan kebutuhan dan realitas sehari-hari yang dirasakan masyarakat asli Papua.

Daerah Hilang hanya potongan kecil dari peristiwa-peristiwa lain yang lebih kompleks yang dirasakan oleh masyarakat adat di Papua sejak Freeport menginjakkan kaki. Hanya dalam setengah abad, keberadaan Freeport telah mengubah tatanan hidup masyarakat adat dengan begitu signifikan, mulai dari lingkup ekologis hingga cara hidup sehari-hari. Sehingga jika keterlibatan masyarakat adat tidak kunjung dijadikan pertimbangan utama terkait aktivitas industrial di tanah mereka, tidak sulit membayangkan bahwa di tahun-tahun mendatang akan ada lebih banyak lagi ruang hidup dan masyarakat adat yang tercerabut dari asal dan akarnya.

Ditulis oleh Ayu Diah Cempaka

Artikel terbaru

Tentang Mereka yang Dimarginalisasi di Tanah Sendiri

01

Tentang Mereka yang Dimarginalisasi di Tanah Sendiri

Konon katanya, semua yang berasal dari tanah akan kembali ke tanah. Tanah menjadi permulaan sekaligus akhir dari sebuah siklus kehidupan. Sebuah elemen esensial bagi manusia dan seluruh ekosistem yang meliputinya. Amandemen pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945 menyebutkan bahwa bumi—termasuk tanah, lahan, kebun, hutan—air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh […]

Tentang Mereka yang Dimarginalisasi di Tanah Sendiri
Autisme Bukan Aib

02

Autisme Bukan Aib

Gores-gores tinta hitam dan biru tegas memenuhi kanvas merupa langit malam, di tengah itu semua seekor kucing yang magis seperti terbang dalam luasnya galaksi. Lukisan kucing itu adalah karya Ferdiandra Putra yang disiapkan untuk pameran perdananya. Tidak hanya lukisan, Ferdi juga menyiapkan beberapa topeng dan hasil kriyanya untuk dipamerkan. Melukis menjadi cara Ferdi mengekspresikan imajinasi […]

Autisme Bukan Aib
Mencegah Bencana, Mengingat Kearifan Yang Terabaikan

03

Mencegah Bencana, Mengingat Kearifan Yang Terabaikan

Dalam setiap masyarakat tradisional yang memiliki hubungan erat dengan alam, ada sebuah kearifan lokal. Kearifan lokal atau pengetahuan lokal menubuh dalam cerita, peribahasa, nasihat, agama, seni dan juga arsitektur. Sehingga generasi yang baru akan dapat memahami pengetahuan tentang ruang hidupnya dan terus bertahan dari goncangan zaman. Seperti dalam film Suku Sasak Menjaga Kearifan Lokal (2019) […]

Mencegah Bencana, Mengingat Kearifan Yang Terabaikan
Menghayati Relasi Manusia dan Alam yang Lebih Adil Melalui Semesta

04

Menghayati Relasi Manusia dan Alam yang Lebih Adil Melalui Semesta

Banyak kerusakan terjadi di bumi ini diakibatkan oleh manusia modern. Manusia modern dengan egosentrismenya, menganggap jika alam hanyalah instrumen belaka. Kehadiran alam dilihat sebatas sumber kebutuhan dan oleh karenanya bebas dieksploitasi. Eksploitasi habis-habisan yang dilakukan oleh manusia modern menghadirkan ketidakseimbangan di bumi dan menyebabkan krisis ekologis yang makin hari makin dalam. Eksploitasi sumber daya alam […]

Menghayati Relasi Manusia dan Alam yang Lebih Adil Melalui Semesta
Lihat Semua

Berhasil disalin!